Masalah pembajakan laut di Selat Malaka pada tahun 2000-2005 telah menjadi perhatian masyarakat maritim internasional. Selat Malaka sebagai jalur perdagangan merupakan salah satu choke points terpenting di dunia. Konvensi Hukum Laut 1982 telah memberikan wewenang kepada negaranegara tepi selat dalam hal pengamanan perairan Selat Malaka, terutama dalam pemberantasan bajak laut. Adapun masalah yang timbul berkaitan dengan hal tersebut adalah yurisdiksi negara terhadap tindakan pembajakan laut di Selat Malaka yang memiliki kondisi geografis yang terbilang unik. Rezim laut yang berlaku di Selat Malaka terdiri dari laut teritorial Indonesia, Malaysia dan Singapura dan zona ekonomi eksklusif dari Indonesia dan Malaysia. Maka, dalam menentukan yurisdiksi di Selat Malaka ini harus memperhatikan di rezim manakah tindakan pembajakan laut itu terjadi. Penentuan yurisdiksi ini berlanjut pada masalah mengenai upaya-upaya yang dilakukan negara-negara tepi selat dalam upaya pemberantasan pembajakan laut di Selat Malaka serta penegakan hukum atas tindakan pembajakan laut tersebut. Pembajakan laut merupakan tindakan yang merugikan masyarakat internasional yang menggunakan jalur Selat Malaka untuk perdagangan internasional, oleh sebab itu, berdasarkan Pasal 27 (1) Konvensi Hukum Laut 1982, negara tepi selat dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap kapal asing yang telah diambil alih oleh pembajak laut. Dalam hal pembajakan laut dilakukan di dalam laut teritorial suatu negara, berdasarkan pasal 111 Konvensi Hukum Laut 1982 suatu negara diperbolehkan melaksanakan hak hot pursuit (pengejaran seketika) terhadap pembajak tersebut. Tetapi, hot pursuit harus dihentikan jika pelaku pembajak laut tersebut sudah masuk ke dalam laut teritorial negara tepi selat lainnya. Ketiga negara tepi selat telah melakukan Joint Statement dan juga telah melaksanakan patrol terkoordinasi bersama yang disebut Malsindo untuk mengamankan Selat Malaka dari pembajakan laut. |