Dalam hubungan dokter-pasien, komunikasi memiliki peran yang cukup penting dalam proses kesembuhan pasien. Komunikasi yang positif antara dokter dengan pasien akan memudahkan dokter untuk membuat diagnosa secara akurat dan dapat memberikan obat secara tepat. Selain itu, ketika komunikasi antara dokter dengan pasien merupakan komunikasi yang positif, maka pasien akan merasa didukung untuk sembuh serta menjadi lebih patuh terhadap instruksi dari dokter. Hal-hal tersebut akan memperbesar kemungkinan pasien untuk sembuh dan ada kemungkinan proses penyembuhan pasien menjadi lebih singkat. Sebaliknya, komunikasi yang negatif antara dokter dengan pasien akan berkontribusi negatif terhadap proses kesembuhan pasien. Pada kenyataannya, komunikasi seringkali menjadi hal yang kurang diperhatikan dalam hubungan dokter-pasien, termasuk di Indonesia. Peran dokter dalam hubungannya dengan pasien terlihat sangat dominan. Ada dokter yang memberikan obat atau suntikan tanpa memberikan penjelasan, ada dokter yang terkesan tidak berminat menggali riwayat keluhan dari pasien, adapula dokter yang terkesan terburu-buru dalam melayani pasien. Kondisi seperti ini akan memperlebar jarak antara dokter dengan pasien, dan mereka akan menggunakan status sebagai dokter dan status sebagai pasien dalam berkomunikasi. Identitas yang digunakan saat berhubungan satu sama lain adalah identitas sosial, bukan identitas prbadi. Karena itulah hubungan dokter-pasien menjadi hubungan antar kelompok. Saat hubungan dokter-pasien sudah menjadi hubungan antar kelompok, maka dokter akan cederung menggunakan kontrol sebagai dokter dan berusaha untuk mempertahankan statusnya lebih tinggi dari pasien. Pasien yang merasa statusnya lebih rendah akan menjadi tidak nyaman untuk mengungkapkan keluhan-keluhannya, serta merasa tidak berhak untuk bertanya pada dokter. Namun, sesungguhnya pasien berharap agar dokter bersedia untuk lebih mendengar keluhan-keluhannya dan dapat lebih diajak berkomunikasi secara terbuka. Tapi di sisi lain, pasien juga tetap mengharapkan adanya kontrol dari dokter sebagai orang yang lebih ahli dalam bidang kesehatan. Sebenarnya ada dokter yang mencoba untuk membuat status mereka dengan pasien menjadi lebih setara, namun mereka beranggapan bahwa hal tersebut akan membuat pasien menjadi meremehkan dokter dan menganggap dokter tidak kompeten. Adapula dokter yang walaupun tidak memperhatikan kualitas komunikasi tetap ramai diantri oleh pasien, karena obatnya yang manjur. Masalah-masalah di atas menimbulkan pertanyaan bagi peneliti, apakah komunikasi dianggap sebagai hal penting bagi pasien dalam berhubungan dengan dokter, apakah komunikasi yang akomodatif akan membuat pasien merasa puas, dan komunikasi yang tidak akomodatif akan membuat pasien merasa tidak puas dalam berhubungan dengan dokter. Karena itu, peneliti ingin melihat persepsi pasien tentang komunikasi yang memuaskan dan tidak memuaskan dengan dokter. Hubungan dokter-pasien yang dilihat sebagai hubungan antar kelompok didasarkan pada teori identitas sosial (Tajfel dalam Callan dkk., 1991), sedangkan komunikasi antara dokter dengan pasien dilihat berdasarkan Communication Accommodation Theory (Watson & Gallois, 1999). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan data. Sampel penelitian adalah pasien dengan penyakit kronis, dimana penyakit kronis merupakan salah satu penyakit yang membutuhkan komunikasi dokter-pasien secara intens. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien merasa puas terhadap komunikasi dengan dokter ketika dokter menggunakan strategi-strategi Communication Accommodation Theory untuk menyetarakan status dengan pasien. Sebaliknya, pasien merasa tidak puas terhadap komunikasi dengan dokter ketika dokter menggunakan strategi-strategi tersebut secara negatif (kontra). Selain itu, kesembuhan merupakan hal di luar komunikasi yang juga mempengaruhi kepuasan pasien terhadap dokter. Dalam hal ini, komunikasi memiliki peran penting dalam mencapai kesembuhan pasien |