Skizofrenia merupakan salah satu dari banyak macam gangguan jiwa. Skizofrenia juga dapat digolongkan ke dalam gangguan jiwa berat. Meskipun demikian, penderita skizofrenia digolongkan tidak berbahaya bagi orang lain. Hal ini bisa dilihat dari sebagian besar penderita mendengar suara untuk membunuh diri mereka sendiri daripada membunuh orang lain, dan kebanyakan mereka memilih untuk tetap hidup dan menjalani keseharian dibanding menurutinya (Hill & Flory, 2000). Skizofrenia diartikan sebagai sindrom variabel klinis yang seringkali muncul berupa gangguan, psikopatologi yang melibatkan kognisi, emosi, persepsi dan aspek-aspek behavior yang lain (Caplan & Kililea, 2007). Skizofrenia itu sendiri bisa dikenali melalui simtom-simtom yang muncul. Karakteristik simtom yang muncul biasanya diikuti oleh halusinasi dan delusi, penyimpangan dalam hal berpikir dan berbicara, penyimpangan tingkah laku, masalah pada afek dan emosi serta menurunnya fungsi kognitif. Selain itu, pasien seringkali memiliki gagasan bunuh diri atau membunuh orang lain, pasien yang karena kegelisahannya dapat membahayakan dirinya atau lingkungannya, menolak makan atau minum sehingga membahayakan kelangsungan hidupnya, dan pasien menelantarkan diri, yaitu kondisi di mana pasien tidak merawat diri dan menjaga kebersihannya dengan mandiri, seperti makan, mandi, buang air besar (BAB), buang air kecil, dan lainnya. Dalam hal ini keluargalah yang paling berperan, karena keluarga yang terlebih dahulu mengetahui tanda-tanda kekambuhan penderita skizofrenia. Sementara itu, perilaku-perilaku pasien seperti yang telah disebutkan di atas juga bisa menjadi beban tersendiri bagi orang-orang di sekitarnya. Tidak dipungkiri keluarga juga akan mengalami krisis dan mengalami tekanan saat mendapati bahwa salah satu anggota keluarganya menderita skizofrenia. Tekanan ini kelak akan menjadi sumber stres bagi para anggota dalam keluarga tersebut. Sementara itu, bagi keluarga yang rentan terhadap stres, tentunya akan mengganggu peran mereka sebagai sistem support yang berujung pada semakin tidak stabilnya penderita skizofrenia dalam proses penyembuhan. Oleh karena itu, peneliti melihat pentingnya manajemen stres dalam keluarga tersebut, agar mereka dapat mengelola stres mereka menjadi lebih baik dan menjadi sistem pendukung bagi penderita skizofrenia agar tidak kambuh atau mencegah individu agar tidak mengalami gangguan skizofrenia. Dalam hal ini, keluarga harus dibantu untuk mengenali sumber stress mereka terkait dengan anggota keluarga yang menderita skizofrenia, mengenali reaksi stres serta melakukan strategi coping yang sehat agar tidak mengalami reaksi stres yang negatif. |