Salah satu permasalahan dalam penerimaan masyarakat terhadap rumah susun (rusun) adalah tidak cukup familiarnya masyarakat Indonesia dengan hunian vertikal seperti rusun, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Hal ini berkaitan dengan gaya hidup masyarakat. Karena itu, tujuan pertama penelitian ini adalah mengetahui proporsi penghuni dari Rumah Susun Tebet Barat I, yang menjadi objek penelitian, menurut tipe gaya hidupnya. Klasifikasi gaya hidup menggunakan pendekatan VALS. Adanya masalah penerimaan masyarakat terhadap hunian vertikal tentu tidak mengesampingkan fakta bahwa terdapat nilai lebih rusun dibandingkan dengan rumah tinggal konvensional (landed house), seperti lokasi yang strategis, praktis, hemat, dan sebagainya. Karena itu, tujuan kedua penelitian ini adalah mengetahui motif pembelian satuan rumah susun oleh penghuni Rumah Susun Tebet Barat I. Motif pembelian menggunakan klasifikasi motif dari McGuire. Tujuan ketiga dalam penelitian ini adalah mengetahui ada tidaknya hubungan antara gaya hidup dan motif pembelian serta bagaimana keeratan hubungannya. Penelitian ini dilakukan dengan cara riset kepustakaan dan penelitian lapangan di Rumah Susun Tebet Barat I. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif deskriptif. Data primer diperoleh melalui data kuesioner dari responden, sedangkan data sekunder diperoleh melalui buku-buku dan situs internet maupun pengamatan terhadap situasi yang terjadi di Rumah Susun Tebet Barat I selama penelitian berjalan. Berdasarkan hasil analisis data, diketahui bahwa proporsi penghuni Rumah Susun Tebet Barat I, dilihat dari tipe gaya hidupnya, terbagi menjadi 10 kelompok. Kelompok-kelompok tersebut terdiri dari tujuh kelompok penghuni yang memiliki satu tipe gaya hidup saja dan tiga kelompok penghuni yang memiliki dua tipe gaya hidup. Kelompok terbesar adalah penghuni yang memiliki tipe gaya hidup believers dengan persentase 33,8%. Diikuti setelahnya adalah strivers (13,8%), makers (13,8%), survivors (8,8%), experiencers (8,8%), dan kelompok dengan dua tipe gaya hidup, yaitu believers – makers (8,8%). Selanjutnya adalah penghuni dengan tipe gaya hidup thinkers (5%) dan believers – survivors (3,8%), believers – strivers (2,5%), dan terakhir adalah achievers (1,3%). Untuk motif pembelian yang paling banyak dimiliki adalah motif consistency, yang dimiliki oleh 28,75% dari total responden. Berikutnya adalah independence (21,25%), causation (17,5%), cues (15%), dan novelty (13,75%). Selanjutnya terdapat dua motif yang sama banyak dimiliki oleh responden dengan persentase sebesar 8,75%, yaitu self-expression dan reinforcement. Berikutnya adalah motif assertion (6,25%). Kemudian, pada urutan delapan terdapat motif categorization dan ego-defense dengan persentase sebesar 5%. Diikuti motif modelling (3,75%). Terakhir adalah motif affiliation dengan persentase sebesar 2,5%. Dari setiap gaya hidup yang dihubungkan dengan masing-masing motif pembelian, didapatkan hasil adanya 15 pasang gaya hidup – motif pembelian yang memiliki hubungan. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa setiap gaya hidup memiliki hubungan minimal dengan satu motif pembelian. Untuk itu penulis menyarankan agar dalam mengembangkan atau membangun rumah susun ke depannya, dengan pihak manapun sebagai pengembang, perlu diperhatikan secara seksama perihal gaya hidup dari pasar sasaran. |