Pada umumnya hukum perdata itu baru bisa ditempuh apabila perkara pidananya sudah berkekuatan hukum tetap, tetapi dalam kasus perkara H.M.Soeharto tidak demikian. Dalam kasus ini, hukum pidananya belum diputus tapi bisa diajukan kembali perkara yang sama dengan jalur hokum yang berbeda, yaitu dengan jalur hukum perdata. Hal ini terjadi karena pada saat perkara pidana berlangsung, beliau dinyatakan sakit permanent sehingga tidak dapat mengikuti seluruh persidangan. Oleh karena itu, dikeluarkanlah Surat Ketetapan Penghentian Perkara (SK3P) terhadap kasus dugaan penyalahgunaan dana Yayasan Beasiswa Supersemar yang didirikan oleh H.M.Soeharto. Beberapa hal yang harus diperhatikan, Pertama adalah membuktikan bahwa perbuatan H.M.Soeharto itu adalah Perbuatan Melawan Hukum, Hal ini berguna untuk menjerat dan memberatkan H.M.Soeharto dalam perkara tersebut, sehingga beliau diwajibkan untuk bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya. Dalam hal ini mantan Presiden Republik Indonesia (H.M.Soeharto) dimintakan untuk membayar ganti kerugian. Kedua pengajuan gugatan ini dilakukan oleh Kejaksaan Agung selaku Jaksa Pengacara Negara, sedangkan H.M.Soeharto diwakilkan oleh pengacaranya, yaitu O.C.Kaligis serta tim pengacara penasehat hukum H.M.Soeharto. Adapun pasal yang menjerat dalam kasus ini adalah pasal 1365 KUHPerdata dan pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, kemudian dilakukan beberapa tahapan, yaitu mediasi, gugatan, replik, dupik, alat bukti, kesimpulan, dan putusan. Ketiga tergugat dalam kasus ini dimintakan pertanggungjawaban yaitu untuk membayar kerugian yang telah ditimbulkan akibat perbuatan tindak pidana korupsi. |