Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang secara signifikan mengalami penyimpangan dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya. Menurut Indonesian Society for Special Needs Education (ISSE), hanya sekitar 1,83% atau sebanyak 48.000 dari 2,6 juta lebih ABK usia sekolah di Indonesia, yang sudah terlayani melalui sekolah. Salah satu penyebabnya adalah keterbatasan Sekolah Luar Biasa (SLB), sehingga akhirnya dicetuskanlah program pendidikan inklusi oleh pemerintah Indonesia. Pendidikan inklusi adalah penempatan siswa berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler (Staub dan Peck, dalam Widjojo, 2007). Pendidikan inklusi itu akan berjalan lancar apabila siswa reguler bersikap positif dan memberikan dukungan sosial pada siswa berkebutuhan khusus. Sikap adalah suatu evaluasi terhadap orang, objek, atau ide, yang terdiri dari komponen afektif, kognitif, dan konatif (Aronson, 2004). Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap berkaitan dengan perilaku. Perilaku berarti respons (reaksi, tanggapan, jawaban, balasan) yang dilakukan oleh suatu organisme (Chaplin, 2005). Oleh karena itu, pemberian dukungan dapat dikatakan sebagai sebuah perilaku karena merupakan suatu respon yang dilakukan oleh individu berdasarkan hubungannya dengan lingkungan tersebut. Dukungan sosial (social support) adalah informasi verbal atau non-verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya (Gottlieb, 1983). Menurut Sarafino (1998), dukungan itu terdiri dari dukungan instrumental, emosional, penghargaan diri, informasional, dan jaringan sosial. Pada masa remaja, sumber dukungan yang paling potensial adalah teman sebaya. Oleh karena konteks penelitian ini adalah sekolah inklusi, khususnya tingkat SLTP (usia 12-15 tahun), maka yang menjadi teman sebaya dari siswa berkebutuhan khusus adalah siswa reguler. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Kuesioner yang digunakan dibuat sendiri oleh peneliti, mengacu pada teori Aronson (2004) dan teori Sarafino (1998) serta Cutrona dan Suhr (dalam Trisna, 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dan dukungan sosial siswa reguler terhadap siswa berkebutuhan khusus di sekolah inklusi. Sedangkan berdasarkan hasil tambahan penelitian, diketahui bahwa sikap siswa reguler cenderung positif pada komponen afektif dan konatif. Selain itu siswa reguler juga cenderung memberikan dukungan jenis emosional, penghargaan diri, instrumental dan informasional pada siswa berkebutuhan khusus. Dengan demikian, disarankan kepada pihak-pihak yang terkait untuk meningkatkan komponen kognitif sikap dan dukungan jenis jaringan sosial siswa reguler, misalnya dengan memasang poster, mading, mengadakan pelatihan, atau iklan layanan masyarakat mengenai anak berkebutuhan khusus dan sekolah inklusi. |