Putusnya perkawinan campuran yang banyak terjadi di Indonesia menimbulkan permasalahan terutama permasalahan mengenai status kewarganegaraan anak. Hal ini disebabkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama, yaitu Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 menganut asas ius sanguinis, jadi anak-anak yang dilahirkan akan mengikuti status kewarganegaraan ayahnya. Situasi ini akan sulit jika ayahnya berkewarganegaraan asing dan terjadi perceraian diantara orangtuanya, karena Undang-Undang ini memberlakukan bahwa si anak baru dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia setelah si anak berumur 18 tahun atau sudah kawin. Jadi, jika si anak mengikuti kewarganegaraan asing seperti ayahnya, maka jika terjadi perceraian, si anak dapat dideportasi karena berkewarganegaraan asing dan lebih parah lagi jika di negara si ayah tidak dapat memberikan kewarganegaraan kepada si anak karena alasan tertentu, misalnya Inggris yang hanya mau memberikan kewarganegaraannya jika salah satu orangtuanya bekerja di Crown Service, maka si anak akan menjadi apatride atau tanpa kewarganegaraan. Tapi hal ini dapat dihindari dengan diberlakukannya Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 pada tanggal 11 Juli 2006. Dalam Undang-Undang ini, si anak akan mempunyai kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu kewarganegaraan si ayah dan si ibu. Maksud dari kewarganegaraan ganda terbatas adalah si anak akan memiliki dua kewarganegaraan sampai pada usia 18 tahun atau sudah kawin. Baru setelah itu, ditambah waktu paling lambat 3 tahun, si anak harus memutuskan salah satu kewarganegaraannya apakah mengikuti kewarganegaraan ayahnya atau kewarganegaraan ibunya. Dengan memiliki kewarganegaraan ganda ini, si anak tidak akan dideportasi karena ia juga memiliki kewarganegaraan Indonesia. |