Anda belum login :: 17 Apr 2025 00:10 WIB
Detail
BukuAnalisis Yuridis Pembatalan Perkawinan Berbeda Agama (Katolik-Islam) Menurut Hukum Kanonik Dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Bibliografi
Author: Widyasanti, Chatarina Gita ; Basuki, Zulfa Djoko (Advisor)
Topik: perkawinan; berbeda agama; hukum kanonik; Hukum Perdata
Bahasa: (ID )    
Penerbit: Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya     Tempat Terbit: Jakarta    Tahun Terbit: 2007    
Jenis: Theses - Undergraduate Thesis
Fulltext: Chatarina Gita Widyasanti's Undergraduate Theses.pdf (199.17KB; 68 download)
Ketersediaan
  • Perpustakaan Pusat (Semanggi)
    • Nomor Panggil: FH-2159
    • Non-tandon: tidak ada
    • Tandon: 1
 Lihat Detail Induk
Abstract
Agama dijadikan sebagai landasan, dan pedoman baik dalam melakukan hubungan dengan Tuhan maupun antara sesama manusia, termasuk didalamnya masalah perkawinan, yang pada dasarnya setiap agama melarang umatnya untuk melangsungkan perkawinan dengan umat dari agama lain. Pada saat berlakunya peraturan tentang Perkawinan Campuran (GHR), perkawinan antar agama dapat dilakukan, karena dalam ketentuan GHR pasal 7 ayat (2) dikatakan agama bukanlah halangan untuk melangsungkan perkawinan. Namun setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan berbeda agama tidak dapat dilakukan, karena dalam UU tersebut hanya mengatur tentang perkawinan dengan perbedaan kewarganegaraan, tetapi berdasarkan pasal 2 ayat (1) dikatakan perkawinan adalah sah jika menurut hukum agamanya tidak melarang. Dalam kenyataannya perkawinan berbeda agama banyak terjadi, contohnya pada kalangan umat Katolik perkawinan campuran berbeda agama dimungkinkan melalui dispensasi atas halangan berbeda agama. Pada contoh kasus perkawinan antara Ny Titin dan Tuan Bambang yang dilakukan berdasarkan dispensasi berbeda agama, Keuskupan Agung Jakarta mengeluarkan keputusan pembatalan perkawinan, dimana proses pembatalan tersebut tidak sama dengan proses pembatalan yang dimaksud dalam UU No. 1 tahun 1974, dimana pembatalan secara Katolik akan diputus oleh Majelis Tribunal Gerejani dan diajukan ke Keuskupan bukan melalui Pengadilan seperti yang dimaksud dalam UU No. 1 tahun 1974. Pembatalan dalam Agama Katolik dimaksudkan agar perkawinan putus secara sah di mata agama, karena Agama Katolik tidak mengenal adanya perceraian (cerai hidup) yang hanya dilakukan secara sipil. Akibat yang timbul dari adanya pembatalan tersebut baik dari UU No. 1 tahun 1974 maupun menurut Hukum Kanonik tidak akan mempengaruhi status anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut.
Opini AndaKlik untuk menuliskan opini Anda tentang koleksi ini!

Lihat Sejarah Pengadaan  Konversi Metadata   Kembali
design
 
Process time: 0.09375 second(s)