Pada umumnya seseorang yang ingin memulihkan kesehatannya akan mendatangi seorang dokter. Dan seorang dokter berkewajiban untuk memberikan bantuan kepada pasien yang mendatanginya guna memperoleh penyembuhan. Dalam upaya untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien maka seorang dokter tidak boleh melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, sekali pun tindakan medis tersebut dilakukan untuk kepentingan pasien itu sendiri. Semua tindakan medis yang dilakukan oleh dokter harus mendapat persetujuan pasien untuk mencegah terjadinya intervensi yang tidak sah atas integritas fisik pasien. Persetujuan ini dikenal sebagai Informed Consent atau Persetujuan Tindakan Medis yaitu persetujuan yang diberikan atas dasar informasi yang telah disampaikan oleh dokter terhadap pasien. Pengaturan mengenai Informed Consent ini diatur dalam Permenkes Nomor 585 Tahun 1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medis dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Persetujuan pasien tersebut diberikan setelah asien mendapatkan informasi yang akurat tentang perlunya tindakan medis yang akan dilakukan serta resiko yang dapat ditimbulkannya. Suatu persetujuan pasien tanpa dilandasi informasi dari dokter maka persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan hukum, karena pada saat pasien memberikan persetujuan ia tidak memahami apa yang disetujuinya tersebut. Pada keadaan gawat darurat, jika pasien dalam keadaan tidak sadar dan tidak ada keluarga yang dapat memberikan informed Consent, maka dokter atas dasar atau doktrin Fiksi Ilmiah (Leenan), doktrin Van Den Mijn dan doktrin Life Saving serta pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang kesehatan dapat melakukan tindakan medis atau operasi tanpa Informed Consent dari pasien. Apabila seorang dokter tetap melakukan tindakan medis tanpa adanya informasi yang mendasarinya maupun persetujuan yang diberikan maka dokter tersebut dapat dituntut dimuka pengadilan berdasarkan hukum pidana. |