Peranan orangtua dalam sebuah keluarga sangatlah penting. Tugas orangtua adalah membesarkan dan mendidik anak. Namun anak bukanlah milik orangtua yang dapat diperlakukan semena-mena dengan alasan apapun. Banyak orangtua yang tidak mampu membesarkan anak-anaknya dengan baik dan tidak jarang banyak kekerasan dibebankan orangtua terhadap anak-anak. Selama tahun 2005, Komnas Perlindungan Anak mencatat terjadinya 688 kasus kekerasan pada anak, 381 kasus meliputi kekerasan fisik dan psikologis. Jumlah kasus kekerasan fisik dan psikologis tersebut mencakup 50% dari jumlah kasus kekerasan secara keseluruhan dan tercatat bahwa 80% pelaku kekerasan adalah ibu kandung korban (news indosiar, 2006). Alasan utama dilakukannya kekerasan fisik salah satunya ialah sebagai usaha penanaman disiplin atau mendidik (Pudjiati dalam Ayahbunda, 2006), namun tidak selamanya hukuman fisik dapat membawa kebaikan dalam konteks penanaman disiplin. Dobson (dalam Azayaka’s Blog, 2006) menekankan, hukuman badan tidak akan mencegah atau menghentikan anak melakukan tindakan yang salah. Ganjaran fisik ini justru bisa berakibat buruk. Dampak jangka panjang dari kekerasan fisik ini dapat juga terlihat ketika mereka dewasa, seperti rasa marah yang identik dengan agresi, ketimpangan dalam menjalin hubungan dengan orang lain, rasa bersalah yang mereka bawa sampai dewasa, dan merasa rendah diri. Oleh karena itu pengalaman seseorang sangat penting dan berdasarkan pengalaman tersebut, individu akan menjalankan hidupnya secara positif atau negatif tergantung pada kemampuannya dalam berhubungan serta menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pada kemampuan dirinya sendiri ketika menghadapi berbagai permasalahan. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa dari pengalaman-pengalaman masa lalu, individu membentuk suatu penilaian terhadap dirinya sendiri apakah positif ataupun negatif. Penilaian individu terhadap dirinya sendiri dapat diketahui melalui teori Psychological Well Being (PWB). Konsep PWB yang digambarkan oleh Ryff (1989) terdiri dari enam komponen yang masing-masing komponen tersebut berbentuk skala. Enam dimensi tersebut terdapat pada Psychological Well Being Scales (SPWB), yaitu dimensi penerimaan diri (self acceptance), dimensi hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others), dimensi otonomi (autonomy), dimensi penguasaan lingkungan (environmental mastery), dimensi tujuan hidup (purpose in life), dan dimensi pengembangan pribadi (personal growth). Psychological well being ini sangat penting bagi individu untuk menjalankan tugasnya sebagai individu ketika memasuki masa dewasa muda. Pada masa dewasa muda ini, menurut Levinson (dalam Papalia, 1992) individu mulai membangun struktur hidup yang pertama yaitu mulai memilih pekerjaan, membangun rumah tangga dan keluarga, mengikuti impian masa depan, dan menemukan pembimbing yang lebih tua untuk mencapai mimpinya. Adapun jenis penelitian ini adalah non-eksperimental yang bersifat deskriptif dan sampel yang digunakan adalah orang-orang dewasa muda yang berada dalam bangku kuliah, berusia antara 18-30 tahun baik pria maupun wanita, dan pernah mengalami kekerasan fisik baik ringan maupun berat ketika berusia kurang dari 18 tahun. Jumlah sampel yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu 207 subyek. Hasil analisa data dengan menggunakan anova 2 way menunjukkan tidak adanya interaksi antara physical abuse dengan jenis kelamin yang menyebabkan perbedaan PWB secara signifikan. Hal ini dapat disebabkan karena kurang sesuainya alat tes SPWB ini jika digunakan untuk mengidentifikasi PWB orang-orang yang memiliki pengalaman kekerasan pada masa lalu dan tindakan kekerasan tersebut dilakukan oleh orang-orang yang pernah atau tinggal dalam satu atap (domestik). Hal tersebut akan meninggalkan suatu bentuk trauma yang cukup mendalam. Bentuk trauma yang mendalam tersebut tidak dapat diukur secara singkat hanya dengan menggunakan ke 84 item dari SPWB. Faktor kedua yaitu kecenderungan orang Indonesia dalam mengisi kuesioner dengan mengambil nilai aman yaitu nilai 3 dan 4 pada SPWB. Kelemahan ini pada PWB digambarkan dengan dimensi otonomi. Faktor ketiga ialah faktor budaya Indonesia yang mengutamakan keramahtamahan dan kekeluargaan dalam berhubungan dengan orang lain, oleh karena itu dimensi hubungan positif dengan orang lain memiliki nilai mean paling tinggi dibandingkan dengan ke 5 dimensi lainnya dalam banyak aspek. Faktor keempat ialah faktor pendidikan dan pendapatan yang tinggi dapat mempengaruhi PWB seseorang.Saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah melakukan pendalaman analisa secara kualitatif seperti pendekatan wawancara dan observasi, kemudian melakukan penelitian PWB orang-orang yang tidak pernah mengalami kekerasan fisik dan juga orang-orang dengan taraf pendidikan dan sosial ekonomi menengah kebawah untuk digunakan sebagai studi bandingan.untuk ulasan lainnya akan didiskusikan lebih lanjut dalam penelitian ini. |