Remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Remaja menjajaki mencoba berbagai pilihan yang ada, mengarahkan pandangan lebih jauh mengenai karir, pekerjaan, dan tujuan hidupnya di masa mendatang sebagai bagian dari perkembangan identitas diri. Pembentukan identitas diri merupakan tugas utama perkembangan psikososial remaja, yaitu identitas diri yang stabil dan koheren (Havighurst,1961). Identitas diri didefinisikan sebagai perasaan individu akan dirinya sendiri, ia mengenal dirinya, memahami bakat serta minat yang dimilikinya, mempunyai keyakinan akan sesuatu, menjadi individu dewasa yang unik dan memiliki peran dalam masyarakat. Hal tersebut membantu individu belajar dari pengalaman, kemudian menetapkan arah serta tujuan untuk masa depannya (Erikson, 1968). Perkembangan pembentukan identitas diri pada remaja meliputi identitas ideologi dan identitas interpersonal. Identitas ideologi terdiri dari aspek karir / pekerjaan, politik, filosofi gaya hidup, dan agama. Identitas interpersonal terdiri dari aspek persahabatan, kencan, peran jenis kelamin, dan rekreasi (Adams, 1998). Menurut Marcia (1993), proses pembentukan identitas diri melibatkan dua aspek, yaitu eksplorasi dan komitmen. Berdasarkan ada atau tidaknya proses eksplorasi dan komiten pada individu, Marcia mengolongkan identitas diri ke dalam 4 (empat) status identitas yaitu identity diffusion, identity foreclosure, moratorium, dan identity achievement. Sekolah membantu remaja membentuk sikap dan pandangan akan dirinya sendiri, sehingga berperan penting dalam membentuk sense of autonomy dan identitas diri remaja (Erikson, 1968 ; Santrock, 2003). Jenis sekolah bervariasi, diantaranya ada sekolah yang hanya menerima satu jenis kelamin saja atau disebut sebagai sekolah homogen, atau yang dikenal sebagai pendidikan non koedukasi (non co-education). Dan sekolah yang menerima siswa berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan, yang dikenal dengan sekolah heterogen atau pendidikan koedukasi (co-education).) Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perempuan akan lebih baik berada di jenis sekolah homogen daripada sekolah heterogen, baik dari segi akademis maupun konsep diri (Maersh,2004; Kayes,2004; Schemo,2004; Takahashi,1997). Carpenter (dalam Takahashi,1997) ketidakhadiran murid dengan jenis kelamin yang berbeda sebagai teman bersaing merupakan suatu hal yang penting dalam membentuk identitas seksual dan pekerjaan individu di masa depan. Berkaitan dengan perkembangan identitas diri remaja putri, sekolah homogen dapat membantu mengatasi hambatan dari stereotipe budaya dan ekspektasi sosial. Sekolah homogen memberikan kesempatan yang lebih luas pada remaja putri untuk melakukan eksplorasi identitas ideologi dan interpersonal, dibandingkan dengan sekolah heterogen. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti ingin mengetahui perbedaan identitas diri remaja putri di SMA heterogen dan SMA homogen. Perbedaan identitas diri terlihat dari eksplorasi dan komitmen remaja putri pada domain identitas diri yaitu identitas interpersonal dan identitas ideologi. Eksplorasi dan komitmen pada identitas interpersonal dan ideologi pada 4 (empat) tipe status identitas dari Marcia yaitu moratorium, foreclosure, identity achivement, dan identity diffusion. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian non eksperimental dengan besar sampel keseluruhan 80 orang, 40 orang remaja putri yang bersekolah di SMA homogen dan 40 orang remaja putri yang bersekolah di SMA heterogen. Penelitian ini mengambil sampel SMU Tarakanita 1-Jakarta sebagai sekolah homogen dan SMU Dob Bosco 2 -Jakarta sebagi sekolah heterogen. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling. Rentang usia adalah remaja akhir, usia 17-19 tahun. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner skala identitas Extended Version of Objective Measure Ego Identity Status (EOMEIS) dari Adams, Benion, dan Huh (1987). Alat tes ini terdiri dari 64 item yang terbagi dalam 2 domain, yaitu domain ideologi yang meliputi aspek agama, politik, pekerjaan, gaya hidup , dan domain interpersonal yang terdiri dari aspek persahabatan, kencan, peran gender, rekreasi. Uji validitas yang dilakukan pada skala identitas ini menghasilkan angka antara 0.11 – 0.845. Jumlah penyataan yang diterima sebanyak 47 pernyataan dari 64 pernyataan, dengan reliabilitas pada masing-masing status identitas sebesar 0.624 – 0.839. Data penelitian ini dianalisa menggunakan teknik t-test dengan bantuan program SPSS 13.0. Didapatkan t tabel sebesar 1,667. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan status identitas antara remaja putri tahap akhir yang bersekolah di SMA homogen dan SMA heterogen, di Jakarta.Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti memberi saran pada penelitian lanjutan dilakukan dengan sampel dari jenis sekolah yang berbeda, dan menggali varibel – varibel lain seperti keluarga, media, teman sebaya yang mungkin memiliki pengaruh yang lebih besar pada pembentukan identitas diri. Saran kepada pihak sekolah dan semua pihak yang bergerak dalam dunia pendidikan agar lebih memperhatikan metode pendidikan, proses belajar-mengajar, dan kegiatan siswa di sekolah sehingga dapat mendukung perkembangan identitas diri remaja. Orang tua sebagai figur penting dalam perkembangan remaja, diharapkan mampu mendukung eksplorasi dan pandangan remaja akan dirinya sendiri, sehingga dapat terbentuk identitas diri yang kuat. |