Anda belum login :: 24 Nov 2024 10:36 WIB
Home
|
Logon
Hidden
»
Administration
»
Collection Detail
Detail
Sistem Peradilan Kita Harus Dibenahi: Analisis Putusan MK tentang UU Komisi Yudisial
Oleh:
Rahayu, Muji Kartika
Jenis:
Article from Journal - ilmiah nasional - terakreditasi DIKTI
Dalam koleksi:
Jurnal Konstitusi vol. 03 no. 03 (Sep. 2006)
,
page 53-67.
Topik:
UU KY
;
Undang-undang Komisi Yudisial
;
UU No. 4 Tahun 2004
;
Putusan No. 005/PUU-IV/2006
Ketersediaan
Perpustakaan Pusat (Semanggi)
Nomor Panggil:
JJ149
Non-tandon:
1 (dapat dipinjam: 0)
Tandon:
tidak ada
Lihat Detail Induk
Isi artikel
Putusan ini rnerupakan putusan pengujian Undang-undang Nornor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nornor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) terhadap UUD 1945. Ketentuan yang dimohonkan untuk diuji adalah Pasal 34 ayat (3) UU KK yaitu Pasal 1 angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) dan (5), Pasal 23 ayat (2), (3), dan (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan (4) UU KY, serta Pasal 34 ayat (3) UU KK. Amar putusan ini menyatakan mengabulkan sebagian permohonan yaitu Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata "hakim Mahkamah Konstitusi", Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e, Pasal 22 ayat (5), Pasal 23 ayat (2), (3), dan (5), Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (3) dan (4) UUKY, serta Pasal 34 ayat (3) UU KK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam putusan ini, Mahkamah konstitusi menyatakan bahwa sepanjang menyangkut perluasan pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim konstitusi terbukti bertentangan dengan UUD 1945. Apabila ditinjau secara sistematis dan dari penafsiran berdasarkan "original intent" perumusan ketentuan UUD 1945, ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak berkaitan dengan ketentuan mengenai MK yang diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Tidak tercakupnya pengertian perilaku hakim konstitusi tersebut juga terdapat dalam ketentuan UU MK dan UU KK yang dibentuk sebelum pembentukan UU KY. Selain itu, Hakim Konstitusi pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. MK juga mempertimbangkan pula alasan substantif terkait dengan kewenangan memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Terhadap permohonan para Pemohon sepanjang menyangkut pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim agung, terbukti tidak cukup beralasan. Putusan ini menyatakan bahwa persoalan yang berkaitan dengan pertanyaan apakah hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 meliputi pengertian hakim agung atau tidak, tidaklah dapat ditemukan dasar-dasar konstitusional yang meyakinkan. Pembentuk undang-undang dapat saja menentukan apakah hakim agung termasuk dalam wilayah pengawasan KY atau tidak. Mengenai prosedur pengawasan, Mahkamah berpendapat bahwa perumusan Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20 UU KY sebagai penjabaran dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menggunakan rumusan kalimat yang berbeda sehingga menimbulkan masalah dalam penormaannya dalam UU KY yang menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). UU KY terbukti tidak rinci mengatur mengenai prosedur pengawasan, tidakjelas dan tegas menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang diawasi, instrumen apa yang digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan yang menyebabkan semua ketentuan UU KY tentang pengawasan menjadi kabur (obscuur) dan menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, segala ketentuan UU KY yang menyangkut pengawasan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. DPR dan Presiden dianjurkan pula untuk melakukan perbaikan-perbaikan yang bersifat integral dengan juga mengadakan perubahan dalam rangka harmonisasi dan sinkronisasi atas UU KK, UU MA, UU MK, dan undang-undang lain yang terkait dengan sistem peradilan terpadu.
Opini Anda
Klik untuk menuliskan opini Anda tentang koleksi ini!
Kembali
Process time: 0.015625 second(s)