Anda belum login :: 24 Nov 2024 02:31 WIB
Detail
BukuPERBEDAAN TINGKAT SELF-LIKING DAN SELF-COMPETENCE MAHASISWI UNIKA ATMA JAYA BERDASARKAN KEKERAPAN BEROLAHRAGANYA
Bibliografi
Author: Andayani, Hanny ; Tambunan, Raymond A.I. (Advisor)
Bahasa: (ID )    
Penerbit: Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya     Tempat Terbit: Jakarta    Tahun Terbit: 2006    
Jenis: Theses - Undergraduate Thesis
Fulltext:
Ketersediaan
  • Perpustakaan Pusat (Semanggi)
    • Nomor Panggil: FP-813
    • Non-tandon: tidak ada
    • Tandon: 1
 Lihat Detail Induk
Abstract
Penelitian ini ingin melihat perbedaan tingkat self-esteem remaja perempuan yang tak berolahraga, memiliki frekuensi olahraga yang tidak ideal, dan yang memiliki frekuensi olahraga ideal. Konsep self-esteem yang digunakan adalah two-dimensional self-esteem dari Tafarodi dan Swann (1995). Dalam konsep ini dikenal 2 dimensi independen yang membentuk self-esteem individu yakni self-liking dan self-competence. Self-liking merupakan dimensi yang pembentukannya berkaitan dengan nilai-nilai sosial yang diinternalisasi oleh individu. Self-competence merupakan penilaian individu akan dirinya sebagai agen penyebab yang dengan usaha dan tingkah lakunya yang efektif dan terkontrol mampu memenuhi tujuan yang diinginkan.
Selama ini olahraga seringkali dikaitkan dengan self-competence. Dikatakan bahwa individu yang memiliki self-competence tinggi yakin akan kemampuannya, percaya diri, dan punya kontrol yang kuat. Partisipasi olahraga individu terkait erat dengan hal tersebut. Di lain sisi, fokus olahraga saat ini adalah sebagai sarana untuk memperbaiki penampilan dan bentuk tubuh. Fenomena ini sangat banyak terjadi pada remaja perempuan yang merupakan kaum yang menjunjung tinggi penampilan fisik. Remaja perempuan yang tak puas akan penampilannya akan merasa malu dan tertekan sehingga terganggu dalam kehidupan sosialnya atau dengan kata lain mempengaruhi self-liking. Penjelasan di atas memberi arti bahwa self-liking dan self-competence mempunyai andil dalam aktivitas berolahraga remaja perempuan sehingga tepat jika konsep two-dimensional self-esteem digunakan dalam penelitian ini. Selain itu kegiatan olahraga juga mampu memberikan perubahan pada tingkat self-esteem individu. Namun penelitian sebelumnya belum memberikan hasil yang memadai tentang dampak olahraga pada self-liking dan self-competence karena kebanyakan menggunakan konsep self-esteem yang unidimensional.
Populasi penelitian ini adalah mahasiswi Unika Atma Jaya yang termasuk dalam usia remaja akhir. Sampel yang digunakan berjumlah 78 orang dengan 26 orang pada tiap kelompok penelitian. Metode pengambilan data yang dipakai terdiri dari kuesioner dan wawancara terstruktur. Kuesioner berupa SLCS-R (Self-Liking/ Competence Scale-Revised) dipadukan dengan wawancara mengenai frekuensi dan jenis olahraga yang dilakukan subyek dalam 3 bulan terakhir.
Teknik analisis yang digunakan adalah one-way Anova. Post hoc test menyimpulkan bahwa perbedaan tingkat self-liking dan self-competence hanya terjadi antara kelompok yang tak berolahraga dan kelompok yang berolahraga dengan frekuensi tak ideal (kelompok yang terakhir memiliki tingkat self-liking dan self-competence yang lebih tinggi).
Olahraga akan lebih sering dilakukan individu dengan masculine gender role tinggi, sehingga seseorang dengan feminine gender role dominan (remaja perempuan) yang sering berolahraga pasti memiliki alasan khusus untuk melakukannya. Karena itulah peneliti menduga bahwa kelompok yang berolahraga dengan frekuensi ideal merupakan kelompok yang sering berolahraga demi penampilan semata. Inilah yang disebut motivasi ekstrinsik. Akibatnya, kegiatan olahraga dengan frekuensi ideal yang dilakukannya tak memberi peningkatan pada self-competence. Sebaliknya, kelompok yang tak berolahraga dengan frekuensi ideal mengalami peningkatan self-competence karena aktivitas berolahraga mereka dilakukan atas dasar motivasi intrinsik yakni karena tertarik dan merasa nikmat kala berolahraga.
Perempuan yang berolahraga sama saja dengan figur feminin yang melakukan kegiatan maskulin. Untuk memperbaiki penampilan, perempuan harus melakukan kegiatan yang berlawanan dengan orientasi jender mereka. Hal ini membawa konflik peran tersendiri bagi kelompok yang berolahraga dengan frekuensi ideal. Ketidaknyamanan tersebut membuat mereka merasa negatif secara sosial karena tak bisa memenuhi perannya. Inilah yang menyebabkan mengapa rutinitas berolahraga mereka tak memberi manfaat bagi self-liking. Diduga bahwa evaluasi akan physical appearan
Opini AndaKlik untuk menuliskan opini Anda tentang koleksi ini!

Lihat Sejarah Pengadaan  Konversi Metadata   Kembali
design
 
Process time: 0.34375 second(s)