Sejak runtuhnya Gedung Kembar WTC New York, 22 September 2001, masyarakat dunia di bawah pengaruh AS membentuk tiga polarisasi kubu, yaitu: penentang terorisme, pendukung terorisme, dan negara pragmatisme. Suatu negara yang menjadi pendukung terorisme atau pun negara yang bersikap apatis tidak terjamin dapat bebas dari serangan terorisme. Masyarakat global dikelilingi oleh ketakutan-ketakutan. Sikap saling mencurigai dan berjaga-jaga (paranoid) adalah reaksi yang muncul untuk mengatasi dampak ketakutan terorisme tersebut. Melihat situasi dunia yang mengalami situasi semacam ini, banyak orang merasa bahwa dunia ini semakin lama semakin tidak aman untuk dihuni. Aksi teror yang terjadi semakin mencekam karena tidak dapat diketahui secara pasti siapa pelaku, motif dan siapa yang harus bertanggung jawab. Oleh karena itu, penelitian ini memikirkan suatu cara meminimalisasikan bibit tindakan kejahatan dan kekerasan dalam diri seseorang agar dapat diminimalisasikan semaksimal mungkin. Penelitian ini mengkaji pandangan dan sikap mahasiswa/i kristiani terhadap terorisme. Model penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian ini menggunakan metode diskusi terarah atau yang dikenal dengan Focus Discussion Group (FGD). Peserta diskusi adalah sekelompok mahasiswa/i Atma Jaya yang mengikuti Mata Kuliah Dasar Umum Agama Katolik. Hasil analisis data penelitian ini menunjukkan bahwa para mahasiswa/i memiliki pengetahuan yang cukup luas mengenai terorisme. Pengetahuan mengenai terorisme tersebut menyangkut: arti, faktor pendorong/penyebab, serta pandangan dan sikap terhadap terorisme. Terdapat dua kutub pandangan dan sikap mahasiswa/i pada umumnya terhadap terorisme, yaitu: positif dengan memaafkan, dan negatif dengan mengutuk. Sebagian besar responden bersikap negatif dengan mengutuk, memaki, bahkan tidak mau mengampuni para pelaku tindakan terorisme tersebut. Bertolak dari situasi ini, dipikirkan suatu bentuk pembinaan iman umat/masyarakat umum dan mahasiswa/i pada khususnya yang dapat dilakukan untuk menangani dampak terorisme tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan pembinaan suara hati secara berkelanjutan. Pembinaan ini dilakukan agar mahasiswa mampu mempunyai sikap yang tegas bagi segala macam bentuk kejahatan dan dosa, khususnya terorisme. Pada akhirnya, mahasiswa/i diharapkan dapat menjadi kader-kader petugas pastoral yang selalu siap sedia turut berpartisipasi dalam menangani dampak tindakan terorisme, baik bagi diri sendirinya maupun orang lain di lingkungan hidupnya masing-masing. |