Penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden dapat kita lihat dari dua sisi, yaitu di masa Orde Baru dan sesudahnya yaitu masa Reformasi. Dilihat dari sisi yang pertama, penghinaan Presiden/Wakil Presiden pada masa itu adalah salah dan pelakunya harus dihukum, sedangkan disisi lain pada masa Reformasi para pelaku kejahatan ini belum ada yang dihukum, walaupun kasusnya sudah diproses menurut hukum acara yang berlaku. UUD 1945 Amandemen telah mengatur kebebasan mengeluarkan pendapat sebagai Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 Amandemen digunakan sebagai alasan pembenar bagi para tersangka pelaku kejahatan ini, walaupun kebebasan yang tercantum dalam Pasal 28E ayat (3) sebenarnya dibatasi oleh Undang-undang, sehingga bukan berarti sebagai kebebasan yang tanpa batas. Di dalam skripsi ini penulis menemukan bahwa pengertian penghinaan itu sendiri merupakan kata-kata yang tidak lazim dan tidak sesuai dengan aspek budaya. Terhadap siapapun orangnya dan kapanpun kejahatan itu dilakukan, terutama jika ditujukan kepada pemegang jabatan yang merupakan Pemimpin Negara Republik Indonesia (Presiden/Wakil Presiden) yang merupakan hasil pilihan oleh sebagian besar rakyat Indonesia, maka penghinaan terhadap pejabat yang demikian menurut kelaziman dan budaya bangsa Indonesia adalah termasuk kejahatan penghinaan. Tetapi pada era Reformasi, para tersangka pelaku kejahatan ini mendasarkan argumentasinya bahwa mereka melakukan hal tersebut bukan untuk menghina, tetapi sebagai bagian kebebasan untuk menyampaikan kepentingan orang banyak kepada Presiden/Wakil Presiden. Secara teoritis setiap tersangka pelaku kejahatan ini harus tetap dapat dihukum bila sudah terpenuhi unsur subyektif dan unsur obyektif, sehingga perkembangan politik dan sosial seperti di era Reformasi bukan alasan untuk meniadakan hukuman, sehingga seyogianya para tersangka yang telah memenuhi kedua unsur tersebut, walaupun di era Reformasi tetap dapat dihukum sebagai pelaku penghinaan terhadap Presiden/Wakil Presiden. Bagaimanapun juga Presiden dan Wakil Presiden harus tetap dikontrol dan diawasi. Menurut hukum hak untuk mengontrol dan mengawasi ini, bukan hanya ada di DPR/MPR-RI, tetapi juga ada pada seluruh rakyat Indonesia. Namun segala bentuk kontrol dan pengawasan atas nama kepentingan rakyat banyak harus tetap dilakukan dengan cara-cara konstitusional dan cara-cara yang sopan menurut ukuran budaya Indonesia. |