Indonesia sebagai negara hukum, menempatkan hukum sebagai alat untuk mengatasi berbagai persoalan nasional maupun internasional demi mewujudkan perikehidupan bangsa yang adil makmur damai sejahtera. Perlindungan di bidang HAKI, khususnya mengenai hak cipta di Indonesia merupakan perkembangan baru, tetapi di negara-negara maju telah berabad-abad lamanya di kenal dan malahan mempunyai manfaat ekonomi atau nilai ekonomi (economic value) yang cukup besar bagi pendapatan negara. Mengenai perangkat hukum di Indonesia, UU No. 19 tahun 2002 adalah perangkat hukum yang dapat dijadikan sebagai pemecahan atas persoalan-persoalan menyangkut perlindungan hak cipta kini. Fenomena hukum tersebut, kiranya dapat dijadikan jawaban dan perbandingan atas kasus BIMBO yang telah terjadi. Kasus itu sendiri berawal dari perjanjian kerjasama bidang rekaman karya cipta musik pada tahun 1973, dimana pada periode tersebut, hukum yang berlaku dan mengatur mengenai perlindungan hak cipta adala h Auteurswet 1912. Dalam pengaturan Auteurswet 1912 terdapat banyak kekurangan dan dinilai telah banyak ketinggalan. Oleh karenannya, sulit untuk mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi pada periode tersebut. Persoalan utama dari kasus BIMBO 1999 adalah mengenai sistem pembayaran dalam kerjasama bidang perekaman karya cipta musik. Terdapat dua penafsiran yang kontoversial sifatnya yaitu dengan sistem flat pay maupun non flat pay. Salah satu alasan dari terjadinya kontroversial penafsiran adalah adanya kelemahan-kelemahan dari perjanjian yang telah diadakan oleh pihak BIMBO dengan Eugene Timothy. Penyelesaian atas Kasus BIMBO 1999 itu sendiri telah dilakukan melalui jalan pengadilan namun terdapat banyak ketidak puasan dari putusan yang telah ada. Oleh karenanya di butuhkan analisis demi menentukan sistem pembayaran yang telah di gunakan. |