Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kecelakaan pesawat udara, yaitu faktor manusia, lingkungan dan pesawat itu sendiri. Penyebab kecelakaan selalu lebih dari satu faktor; kecelakaan tidak pernah terjadi karena faktor tunggal. Apabila terbukti terdapat unsur kesalahan manusia maka pilot, awak pesawat, petugas ATC, penumpang dapat dituntut secara pidana. Sampai saat ini aspek hukum pidana belum pernah berfungsi dalam kejadian kecelakaan pesawat udara yang telah terjadi di Indonesia. Salah satu alasannya adalah karena UU No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan mengacu pada Annex 13 dan dalam Annex 13 ditegaskan bahwa hasil penelitian penyebab kecelakaan pesawat berfungsi untuk mencegah kecelakaan yang sama pada waktu mendatang dan bukan untuk mempertanggung jawabkan kesalahan seseorang dalam kecelakaan tersebut. Walaupun dalam KUHAP dan UU No. 15 Tahun 1992 dikatakan bahwa tim penyidik ada dua yaitu Polri dan Pejabat Pegawai Negri Sipil (dalam hal ini adalah Departemen Perhubungan yang membentuk sebuah tim peneliti bernama KNKT/Komisi Nasional Kecelakaan Transportasi), tetap saja ada perbedaan tujuan atau hasil akhir dari penyelidikan yang dilakukan. Adapun hasil akhir dari Polri bisa berupa penangkapan sedangkan hasil akhir dari KNKT adalah berupa pencegahan yang diberikan dalam bentuk rekomendasi kepada para pihak yang terkait dalam kecelakaan tersebut. Dalam KUHP melalui Pasal 479 a sampai dengan r diatur tentang kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan yang diharapkan dapat mencegah terjadinya kecelakaan pesawat udara yang diakibatkan oleh faktor manusia. Dalam Pasal 479 a sampai dengan r diatur tentang kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan, sabotase, kejahatan asuransi, penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil, ancaman palsu, kejahatan yang menga ncam keamanan di dalam pesawat, dan pelanggaran tata-tertib di dalam pesawat udara. |