Para lansia sering mendapat stereotipe negatif dari masyarakat. Pandangan masyarakat lebih terfokus pada ketidakproduktifan mereka yang pada akhirnya membuat lansia itu sendiri berpikiran bahwa mereka hanya dianggap sebagai beban. Peningkatan populasi lansia yang lebih banyak akan terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Penyebabnya adalah karena turunnya angka kelahiran secara drastis semenjak tahun 1970-an. Peningkatan tersebut selayaknya mendapatkan perhatian yang khusus sehingga dapat dilakukan tindakan-tindakan yang lebih lanjut dalam berbagai aspek kehidupan mereka yang dapat membuat kehidupan para lansia menjadi lebih baik. Para lansia mempunyai tugas-tugas perkembangan yang unik. Salah satunya adalah mereka akan mengalami masa di mana mereka akan ditinggalkan oleh anak-anaknya. Menurut teori socioemotional selectivity, mereka akan membatasi kontak sosial mereka khususnya pada keluarga dan teman-teman. Keluarga, terutama anak, memiliki peranan yang lebih berarti bagi lansia. Mereka adalah sumber utama dari cinta, dukungan, dan perhatian. Meskipun demikian, tidak semua lansia memilih untuk tinggal bersama anaknya tetapi ada juga yang lebih memilih untuk tinggal sendiri. Penelitian ini berfokus pada lansia yang masih memiliki pasangan dengan alasan banyaknya penelitian yang melaporkan bahwa kepuasan perkawinan pada lansia yang masih memiliki pasangan akan semakin meningkat sehingga peneliti ingin melihat apakah faktor adanya pasangan dapat mempengaruhi preferensi lansia untuk tinggal bersama anaknya atau tidak tinggal bersama anaknya. Menurut Pillemer & Suitor (1991) dan Bowlby, Chapper, & Badger (dalam Peters & Liefbroer, 1997), kedekatan hubungan keluarga dan kepuasan perkawinan adalah sumber dari well-being pada lansia. Konsep well-being melihat manusia sebagai makhluk yang mempunyai potensi untuk berfungsi secara optimal. Dengan didasari konsep tersebut maka Ryff menggunakan istilah yang lebih khusus lagi yaitu psychological well-being dan memaparkan 6 dimensi dari psychological well-being yaitu otonomi, penguasaan akan lingkungan, pengembangan diri, relasi positif dengan orang lain, tujuan hidup, dan penerimaan diri. Berkaitan dengan kedekatan hubungan dengan keluarga, dalam hal ini anak, dan kepuasan perkawinan sebagai sumber utama dari well-being, serta hasil-hasil penelitian yang masih bertentangan tentang penentuan tempat tinggal lansia, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai well-being lansia yang tinggal bersama anaknya dan yang tidak tinggal bersama anaknya, khususnya pada lansia yang masih memiliki pasangan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif karena penelitian ini lebih bertujuan untuk menggambarkan berbagai keunikan dari suatu kasus dan bukan untuk membuat peramalan atau pun pembuktian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada kelompok lansia yang tidak tinggal bersama anaknya memiliki perbedaan yang mencolok pada dimensi-dimensi well-beingnya. Sementara pada kelompok lansia yang tinggal bersama anaknya tidak terlihat perbedaan yang mencolok namun ada pengaruh kesehatan pada beberapa dimensi well-beingnya. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk lebih terfokus pada variasi-variasi penentuan tempat tinggal yang muncul, dan juga faktor keberhasilan anak, faktor kesehatan, serta rentang usia. Faktor kepribadian juga sebaiknya mendapat perhatian yang lebih khusus lagi. Ada pula beberapa program intervensi yang dapat dilakukan agar well-being lansia dapat lebih baik lagi. |