Kekerasan dalam rumah tangga oleh suami terhadap istri menduduki urutan pertama dalam jumlahnya daripada kekerasan-kekerasan terhadap perempuan yang lainnya. Hal ini disebabkan kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu kekerasan yang sulit dilacak. Ada beberapa faktor utama yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, salah satunya adalah budaya patriarkis di Indonesia yang menempatkan laki-laki sebagai makhluk superior dan perempuan sebagai makhluk inferior. Jaman sekarang memang sudah lebih maju daripada jaman dulu. Perempuan banyak yang mengenyam pendidikan tinggi, berkarir, mandiri, dan berwawasan luas. Akan tetapi, perempuan-perempuan seperti tersebut di atas pun tidak luput dari kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan banyak yang masih berusaha mempertahankan pernikahannya dengan berbagai macam alasan. Dengan berusaha mempertahankan pernikahannya, berarti juga melanggengkan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangganya atau dengan kata lain, mengizinkan suaminya melakukan kekerasan terhadap dirinya. Padahal, secara ekonomi, perempuan-perempuan ini bukannya tidak mampu bercerai dan hidup sendiri. Situasi-situasi seperti 'terperangkap' ini tentunya menghasilkan kondisi yang tidak baik bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan terjadi terus-menerus dan berulang-ulang, bahkan tingkat intensitas kekerasannya bisa makin meningkat. Belum lagi yang berasal dari lingkungan lain, seperti kantor, sosialisasi, dan lain-lain. Hal ini menyebabkan adanya rasa stress yang berkepanjangan. Tentunya juga dilakukan banyak cara untuk menghilangkan atau melupakan rasa stress tersebut, yang disebut dengan coping stress. Penelitian ini menggunakan teori Stress (Charlesworth&Nathan, 1984) dan Coping Stress (Carver, Scheier&Weintraub, 1989) untuk menjelaskan perilaku yang dilakukan oleh perempuan-perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang tetap mempertahankan pernikahannya. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan mengambil tiga orang subyek. Metode utama untuk mengambil data adalah wawancara, dengan metode pendukungnya adalah observasi. Hasil yang dapat dilihat adalah memang ada beragam stress dan coping stress yang dilakukan, namun tetap ada pola kesamaannya. Salah satunya adalah coping stress yang digunakan adalah coping stress sementara yang tidak menyelesaikan masalah, namun hanya menghilangkan atau melupakan rasa stress saja. Karena semua pusat permasalahan adalah dalam hubungan subyek dengan suami dan subyek tetap ingin mempertahankan hubungannya tersebut. Untuk penelitian selanjutnya dapat dilihat stress dan coping stress dari anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang ibunya mengalami oleh ayahnya, namun tetap mempertahankan pernikahannya. |