Narkoba adalah suatu akronim untuk Narkotika dan obat-obatan berbahaya. Bahan-bahan ini bersifat psikoaktif, yang menyebabkan perubahan perilaku, kesadaran pikiran, dan perasaan, misalnya rasa nyaman, gembira, percaya diri, dan sebagainya efeknya bagi si pengguna umumnya bersifat penenang (depresan), perangsang (stimulan), dan pemicu khayalan (halusinogen). Masalahnya ialah sifat adiksi atau ketergantungan yang ditimbulkan baik adiksi fisik maupun adiksi psikis dan emosional. Badan tidak nyaman kalau tidak memakainya, pikiran kusut, kacau dan tidak berdaya terhadap tekanan. Perasaan tidak terkendalikan oleh keinginan dan kerinduan yang terus mendesak untuk menggunakannya (ketagihan), dapat membuat hidup seseorang porak-poranda secara fisik, mental, emosional, sosial dan spiritual. Masalah penanggulangan korban Narkoba pada umumnya, dan panti rehabilitasi pada khususnya bukanlah sesuatu yang baru. Sudah cukup lama diusahakan dibanyak Negara. Pemakai/pecandu Narkoba biasanya terganggu atau menderita secara fisik, mental, spiritual dan sosial. Karena itu, rehabilitasi adalah bukan sekedar memulihkan kesehatan semula si pemakai, melainkan memulihkan serta menyehatkan seseorang secara utuh dan menyeluruh. Namun hal ini tidak menjamin kesembuhan mereka dari ketergantungan Narkoba, kenyataan ini dapat dilihat pada penelitian yang diadakan oleh YCAB(2001) pada dua puluh panti rehabilitasi di Jakarta, dimana hasil yang diperoleh ialah angka relapse yang mencapai 91,7% dari 672 orang setelah pasien keluar dari pusat rehabilitasi, berarti kira-kira hanya 8,3% yang berhasil mempertahankan kesembuhannya (abstinence). Menurut Marlat, et al (dalam Bandura, 1997) Dalam prilaku adiksi, self-efficacy memiliki peran yang unik. Suatu keyakinan mampu mempengaruhi berkembangnya suatu prilaku adiksi atau sebaliknya, yaitu mempengaruhi proses perubahan prilaku seseorang untuk berhenti dari suatu prilaku adiksi serta mempertahankan dirinya dari keinginannya untuk kembali pada prilaku adiksinya tersebut. Jadi self-efficacy dapat membuat seseorang menampilkan suatu prilaku adiksi ataupun mencegah prilaku adiksi, hal ini tergantung pada tujuan dan harapan orang tersebut. Self-efficacy ialah kepercayaan seseorang akan kemampuan dirinya dalam mengatur, menguasai suatu keadaan dan mencapai keberhasilan dalam mengatasi situasi (Bandura, 1986). Self-efficacy bersifat spesifik dan sesuai situasi target yang hendak dicapai (Pajares,2000). Dalam hal mantan pecandu Narkoba, self-efficacy merupakan suatu keyakinan seseorang akan kemampuannya dalam melewati masa relapse dan bertahan dari ketergantungannya pada Narkoba, bila ia dihadapkan pada high risk situation. Keyakinan bahwa ia dapat lepas dari jerat Narkoba dan pulih mempengaruhi pilihan-pilihan, usaha yang dikeluarkan, seberapa lama ia dapat bertahan dan apa yang dirasakan. Orang yang memiliki self-efficacy yang buruk akan sulit untuk bertahan dalam upaya melawan Narkoba, karena dalam situasi-situasi yang beresiko untuk relapse, ia tidak akan punya keyakinan yang cukup bahwa ia mampu mengatasi high risk situation. Sebaliknya akan terjadi pada orang dengan self-efficacy yang baik (Bandura, 1997). Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti mantan pecandu yang mampu untuk bertahan tersebut, dikaitkan dengan self-efficacy yang dimilikinya dalam mengatasi high risk situation serta faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan self-efficacy-nya . Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan meneliti 2 orang subyek yang telah berhasil menyelesaikan program pemulihan di pusat rehabilitasi dan 1 orang yang masih menjalani program pemulihan sebagai data pembanding. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi. Data yang diperoleh pertama-tama dianalisis per-subyek, kemudian dibuat analisis banding antar kasus masing-masing subyek. Dari proses analisis didapatkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa self-efficacy memiliki peranan dalam mendukung proses pemu |