Perceraian dewasa ini semakin meningkat jumlahnya, khususnya di Indonesia (Biro Pusat Statistik Indonesia, 2001, 2002, 2003; majalah Health Today, ed. Maret 2002; Femina, ed September 2003). Hal ini mungkin terjadi dikarenakan adanya pergeseran budaya dan norma-norma yang berlaku di masyarakat sebelumnya. Perceraian sendiri berarti merupakan akhir dari suatu perkawinan yang tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan (Fisher, 1974) Dampak yang diakibatkan dari terjadinya perceraian orang tua sendiri sangat beragam, dan kompleks, salah satunya adalah terganggunya proses tumbuh kembangnya anak, terutama pada anak-anak di usia yang masih sangat membutuhkan peranan dan kehadiran figur orang tua, dan self-esteem sendiri merupakan evaluasi seseorang terhadap dirinya sendiri (Wollfolk & Nicolich, 1993). Self-esteem sendiri berkembang saat usia anak 9-12 tahun (Papalia, Old, & Feldman, 2001) sehingga dalam masa tersebut anak sangat membutuhkan bimbingan dan arahan serta lingkungan yang kondusif untuk membangun dan menciptakan self-esteem yang positif. Penelitian kali ini bertujuan untuk melihat adakah perbedaan self-esteem yang signifikan antara anak usia 9-12 tahun yang orang tuanya bercerai dengan anak usia 9-12 tahun yang keluarganya tidak bercerai. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian kai ini di konstruksikan sendiri oleh peneliti dengan mengacu kepada enam (6) dimensi self-esteem dari Nugent dan Thomas (1993) yaitu; keseluruhan harga diri, kompetensi sosial, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan intelektual, kompetensi diri, dan perasaan berharga di mata orang lain. Instrumen penelitian kali ini menggunakan kuesioner yang terdapat di dalamnya 48 butir item yang mencakup enam dimensi diatas, yang dibuat seimbang antara item-item yang favourable dan item-item yang unfavourable. Untuk sampelnya diambil dari anak-anak dari SD.Ipeka yang berusia 9-12 tahun, yang berjumlah 30 anak untuk kelompok anak yang berasal dari keluarga utuh dan 30 anak yang berasal dari keluarga bercerai. Hasil penelitian ini menyatakan ditolaknya hipotesis null (Ho) dan di terimanya hipotesis alternatif (Ha) karena thitung = 10.3999 yang ternyata lebih besar dari ttabel = 2.0021 pada taraf signifikansi level 0.05, yang mana dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok anak-anak yang berasal dari keluarga bercerai dan kelompok anak-anak yang berasal dari keluaraga tidak bercerai. Kekurangan dalam penelitian ini antara lain adalah terlalu banyaknya item-item yang harus dijawab untuk anak usia 9-12 tahun, yang disinyalir dapat menciptakan efek kelelahan, dan kejenuhan pada anak sehingga dalam menjawab kurang konsentrasi yang maksimal, juga keterbatasan waktu yang dimiliki oleh subyek, sehubungan dengan kegiatan sekolah yang penuh, dikarenakan banyak hari libur di tahun ajaran ini. Keterbatasan guru bimbingan konseling sebagai second information untuk anak-anak yang bercerai juga salah satu diantaranya, sehingga karakteristik kelompok menjadi kurang diperhatikan. Saran dari penelitian ini antara lain, melihat kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini untuk penelitian serupa selanjutnya karakteristik subyek hendaknya lebih diperhatikan, serta jumlah item mungkin dapat dikurangi namun dalam komposisi yang tetap seimbang tentunya. Saran yang dapat diberikan untuk para orang tua hendaknya lebih memahami apa saja dampak-dampak yang akan terjadi di kemudian hari jika mereka hendak melakukan perceraian, khusunya kali ini yang berhubungan dengan self-esteem anak pada usia 9-12 tahun. Untuk penelitian berikutnya mungkin metode yang digunakan tidak hanya dengan kuesioner saja, melainkan dapat digabungkan dengan metode seperti wawancara, agar hasil penelitian lebih maksimal. |