Pertama kali dikembangkan di negara-negara maju, untuk waktu yang lama, hak atas kekayaan intelektual (HAKI) memang amat dekat dengan ¿tujuan perdagangan¿. Ia bukanlah sekadar satu masalah kebijakan publik atau kedaulatan yurisdiksi, melainkan teknologi yang dilihat sebagai ¿hak milik pribadi yang bernilai¿. Dengan pertama-tama menekankan pada hak milik individual daripada kekayaan kelompok atau komunitas, HAKI telah memicu ketegangan antara negara maju di Utara dan negara berkembang di Selatan, sebagaimana terjadi dalam kasus beras basmati dari Asia Selatan misalnya.
Ketegangan ini juga tercerminkan dalam evolusi dan perkembangan regulasi HAKI pada level internasional dengan ditandatanganinya TRIPS (Trade-Related Aspect of Intellectual Property Rights) di bawah payung WTO (World Trade Organization), di mana pihak Utara jelas telah menjadi pemenangnya. TRIPS menjamin secara legal komodifikasi terhadap sumber-sumber biologis melalui perjanjian perdagangan secara global, yang didominasi oleh negara-negara maju di Utara bekerja sama dengan perusahaan multinasional pencari untung.
Dalam konteks inilah pihak Selatan menuduh pihak Utara telah melakukan apa yang disebut dengan ¿biopiracy¿, atau pembajakan terhadap sumber-sumber genetis yang banyak terdapat di Selatan oleh perusahaan-perusahaan multinasional di Utara, dan terbukti mengancam akses pangan rakyat Dunia Ketiga. Sehingga oleh sebagian orang TRIPS dikatakan sebagai bentuk baru dari ¿imperialisme¿ dan ¿neo-kolonialisme¿ terhadap rakyat Dunia Ketiga. |