Krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat lesunya perkembangan dunia usaha di Indonesia. Untuk itu, diperlukan inovasi-inovasi baru untuk membangkitkan kembali kegiatan-kegiatan perekonomian sehingga masalah-masalah sosial yang kerap muncul sebagai akibat dari buruknya perekonomian dapat ditekan. Lahirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia merupakan salah satu usaha pemerintah. Keadaan tersebut dapat diatasi yaitu dengan memberikan aturan yang jelas kepada lembaga fidusia yang selama ini sudah dikenal dan digunakan masyarakat umum dalam kegiatan usahanya. Pengaturan tersebut memberikan jaminan hukum kepada para pihak yang akan mengadakan hubungan usaha, yaitu dalam hal utang piutang dengan jaminan kebendaan. Undang-undang ini lebih jauh membuka peluang terhadap jaminan milik debitor berupa surat berharga, seperti saham-saham. Selama ini, saham dikenal sebagai jaminan dalam lembaga gadai saham. Namun, sesuai dengan sifat jaminannya, saham yang digadaikan dikuasai secara fisik oleh kreditor. Tetapi dalam lembaga fidusai saham, secara fisik saham tetap kuasai oleh debitor. Ditinjau dari sudut kebolehan untuk dialihkannya, undang-undang ini membagi objek benda jaminan ke dalam dua kategori yaitu benda persediaan dan bukan benda persediaan. Saham dalam kategori benda persediaan yaitu saham-saham dalam portofolio perusahaan efek, sedangkan yang termasuk saham bukan benda persediaan adalah saham-saham milik pemegang saham di Perusahaan Terbatas (Publik maupun biasa). Selanjutnya, bagaimanakah aspek hukum terhadap pelaksanaan lembaga fidusia saham tersebut? Bagaimanakah mekanisme pelaksanaannya ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang berlaku? Apakah peraturan-peraturan tersebut dapat mengakomodir lembaga fidusia saham? Dan permasalahan-permasalahan hukum apakah yang mungkin timbul seputar pelaksanaan fidusia saham ? |