Penelitian ini dilakukan berdasarkan pengamatan terhadap fenomena yang terjadi sehari-hari. Fenomena yang seringkali ditemui adalah adanya dewasa muda yang memiliki perilaku kontak fisik yang terbilang ekstrim, misalnya menjadi seorang yang terdorong untuk terus-menerus menyentuh orang lain (Touchies) atau menjadi seorang yang sangat menghindari sentuhan (Touch Avoiders). Keadaan ini umumnya banyak ditemui pada mereka yang dibesarkan dengan ketiadaan kontak fisik yang juga terjadi dalam tingkat ekstrim sehingga menimbulkan s uatu deprivasi. Untuk inilah penelitian dilakukan yaitu untuk melihat bagaimana deprivasi kontak fisik yang dialami dalam relasi dengan orangtua mempengaruhi relasi interpersonal seseorang pada saat menginjak usia ii dewasa muda. Hal ini dikarenakan pengalaman kontak fisik dalam relasi dengan ayah atau ibu umumnya akan menjadi dasar relasi berikutnya. Pengalaman kontak fisik yang dimaksud bukan hanya menyangkut pengala man secara fisik. Hal ini dikarenakan kontak fisik memiliki 2 aspek yaitu fisik dan psikologis. Aspek fisik berkaitan dengan kontak fisik yang dilakukan untuk merasakan karakteristik fisik dari sesuatu atau seseorang. Sedangkan aspek psikologis berkaitan dengan pengalaman emosional yang menyertai suatu kontak fisik. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan istilah physical affection yaitu kontak fisik yang dilakukan sebagai wujud ekspresi afeksi, misalnya cinta, perhatian, kasih sayang dari orangtu kepada anak. Penelitian ini difokuskan pada deprivasi physical affection yang dialami wanita dewasa muda dalam relasi dengan ayah, khususnya dalam konteks keluarga Tionghoa.. Fokus ini dipilih berdasarkan pengamatan peneliti bahwa pola pengasuhan yang diterapkan oleh ayah dari keturunan Tionghoa umumnya diwarnai oleh ketiadaan physical affection dengan anak sehingga anak memiliki kemungkinan yang besar untuk mengalami deprivasi. Penelitian ini berbentuk deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hal ini dikarenakan penelitian tidak ditujukan untuk membuktikan suatu dugaan atau hipotes. Penelitian ini lebih ditujuan untuk mendapatkan gambaran bagaimana deprivasi physical affection yang dialami dalam relasi dengan ayah mempengaruhi relasi interpersonal pada saat dewasa muda yang terkait dengan tugas perkembangan wanita dewasa muda untuk menjalin relasi yang intim dengan lawan jenis. iii Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua subjek penelitian (keduanya wanita) umumnya tidak memiliki masalah dalam menjalin relasi interpersonal, baik dengan laki-laki maupun wanita. Akan tetapi, deprivasi physical affection tampaknya mulai menimbulkan masalah ketika menyangkut relasi yang sifatnya intim dengan pria, khususnya bila menyangkut kontak fisik. Kesulitan timbul karena deprivasi physical affection menyebabkan dorongan yang kuat untuk terus-menerus memperoleh kontak fisik dari lawan jenis. Keadaan inilah yang menyebabkan kedua subjek tampil sebagai Touchies dalam relasi interpersonal terutama jika menyangkut relasi dengan lawan jenis. Perilaku Touchies timbul karena terjadinya skin hunger (kelaparan kulit) dan sehingga subjek terdorong untuk terus-menerus menyentuh orang lain. Hal ini dilakukan sebagai usaha mencari substitute touch dari sentuhan yang tidak pernah ia peroleh yaitu sentuhan dari ayah. Selain itu, pencarian substitute touch juga ditujukan untuk mencari pemenuhan kebutuhan kontak fisik secara psikologis. Hal ini berkaitan dengan identitas diri yang kurang kuat karena terbentuknya personal dysfunction sebagai akibat terjadinya insecure attachment (anxious attachment style ). Keadaan ini menyebabkan kedua subjek mengaitkan kontak fisik dengan identitas dirinya sebagai wanita. Artinya keberadaan kontak fisik dianggap sebagai suatu penerimaan sedangkan ketiadaan kontak fisik dianggap sebagai penolakan terhadap dirinya sebagai wanita. |