Anda belum login :: 23 Nov 2024 00:13 WIB
Detail
ArtikelPerempuan dalam perspektif undang-undang perkawinan: sebuah analisis wacana kritis  
Oleh: Silalahi, Ronald Maraden Parlindungan
Jenis: Article from Proceeding
Dalam koleksi: KOLITA 16: Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya Keenam Belas Tingkat Internasional, page 429-433.
Topik: Undang-undang perkawinan; Analisis Wacana Kritis; Perempuan; ketidaksetaraan; gender
Fulltext: 429-433 Ronald Maraden Parlindungan Silalahi.pdf (354.82KB)
Isi artikelPerkawinan adalah suatu ikatan antara laki-laki yang berperan sebagai suami dan perempuan yang berperan sebagai istri yang dibangun dengan bersandar pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-undang No 1 tahun 1974). Dalam perspektif kritis, perkawinan dipandang sebagai suatu tindakan sosial yang dilakukan guna menghasilkan suatu institusi sosial tertentu yang dinamakan keluarga. Dalam tataran implementasinya, perkawinan dibangun dengan bersandar pada nilai-nilai dan norma-norma tertentu. Sebagai negara yang berlandaskan pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Indonesia mendasarkan nilai-nilai dan norma-norma perkawinan dalam Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Akan tetapi, Undang-undang ini dinilai mendiskriminasi kaum perempuan karena tidak berpihak dan mengesampingkan hak-hak perempuan (Wuryasti, 2016). Diskriminasi dan ketimpangan ini merupakan suatu bentuk ketidaksetaraan gender yang berlaku dalam perkawinan. Perempuan dalam hal ini tidak memiliki kesamaan hak dan kewajiban dibandingkan dengan kaum laki-laki. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis peran perempuan dalam undang-undang perkawinan dan menganalisis bentuk-bentuk ketidaksetaraan gender dalam undang-undang tersebut. Artikel ini merupakan bagian dari penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan ancangan Analisis Wacana Kritis (AWK). Penelitian dilakukan atas Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Analisis dilakukan dengan bersandar pada model Analisis Wacana Kritis yang dikembangkan oleh Fairclough (2010) yang menekankan pada tiga tahap analisis, yaitu analisis tekstual, interpretasi wacana, dan eksplanasi sosiokultural. Analisis tekstual dilakukan atas undang-undang perkawinan dengan merujuk pada tiga metafungsi bahasa yang dikembangkan oleh Halliday dan Matthiessen (2014) yang mencakupi metafungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual. Interpretasi wacana dilakukan dengan berfokus pada peran-peran partisipan dalam proses pembentukan dan pengkomunikasian undang-undang perkawinan. Sementara itu, eksplanasi sosiokultural dilakukan dengan berfokus pada aspek-aspek soial dan budaya yang mempengaruhi pembentukan dan implementasi undang-undang perkawinan tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dampak yang besar dalam pembentukan kebijakan-kebijakan publik yang terkait dengan perkawinan dan peran perempuan.
Opini AndaKlik untuk menuliskan opini Anda tentang koleksi ini!

Kembali
design
 
Process time: 0.015625 second(s)