Anda belum login :: 22 Nov 2024 23:58 WIB
Home
|
Logon
Hidden
»
Administration
»
Collection Detail
Detail
Penggunaan bahasa dalam debat publik menjelang pilpres 2019: analisis wacana kritis
Oleh:
Laksana, I Ketut Darma
Jenis:
Article from Proceeding
Dalam koleksi:
KOLITA 17: Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya Ketujuh Belas Tingkat Internasional
,
page 205-208.
Topik:
wacana
;
ideologi
;
dekonstruksi
;
makna budaya
Fulltext:
205-208.I Ketut Darma Laksana.pdf
(360.13KB)
Ketersediaan
Perpustakaan PKBB
Nomor Panggil:
406 KLA 17
Non-tandon:
tidak ada
Tandon:
1
Lihat Detail Induk
Isi artikel
Penggunaan bahasa dalam debat publik menjelang pemilihan presiden Repubik Indonesia periode tahun 2019—2024 (disingkat: Pilpres 2019) menarik untuk dikaji. Bahasa yang digunakan tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai strategi memainkan “kuasa” (power) dari penggunanya. Penerapan Analisis Wacana Kritis (AWK) bertujuan membantu dalam memahami bahasa yang digunakan oleh peserta debat. Dilihat dari segi budaya Indonesia, penggunaan bahasa dalam debat publik itu telah meresahkan masyarakat dan sekaligus dapat memecah persatuan bangsa karena ada kepentingan golongan di baliknya. Konsep “kritis” dalam analisis wacana didasari oleh pemahaman adanya sesuatu yang salah atau ketidakberesan dalam penggunaan bahasa. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari “ideologi” yang diusung oleh masing-masing pasangan calon (paslon), yakni “memenangkan pilpres untuk merebut istana”. Dengan demikian, wacana dalam debat merupakan sistem pengetahuan yang memberi informasi tentang gagasan atau program yang diusung oleh kandidat yang juga merupakan bentuk kekuasaan yang dicoba dipaksakan untuk memperoleh kemenangan. Untuk tujuan itu, “pencitraan” sangat kental mewarnai acara debat yang berlangsung karena: pertama, pencitraan merupakan representasi, cermin suatu realitas yang dalam; kedua, pencitraan menyembunyikan dan memalsukan realitas, seperti halnya cara kerja ideologi ketika pencitraan menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas; ketiga, pencitraan menyembunyikan bahwa tidak ada realitas, pencitraan kemudian bermain menjadi penampakannya, mirip dengan permainan sihir; dan keempat, pencitraan tidak ada hubungan sama sekali dengan realitas apa pun, ia hanya menyerupai dirinya. Situasi Pilpres 2019, yang mirip dengan Pilpres 2014, yang berupa pertarungan dua pasangan calon (head to head), telah membuka ruang penggunaan bahasa yang sarat dengan isu sara, fitnah, dan ujaran kebencian. Sehubungan dengan itu, untuk mengungkap makna-makna di balik penggunaan bahasa seperti itu, AWK menerapkan metode dekonstruksi. Pertama, pembongkaran-sistem berupa analisis konteks sehingga diperoleh konstruksi makna, siapa yang terlibat dalam debat publik tersebut, motivasi apa yang mendasarinya untuk melakukan pembangunan-sistem atas sistem yang telah dibangun/disepakati masyarakat atas makna-makna yang telah berlaku secara sosial dan budaya. Kedua, pengamatan partisipatoris berupa tafsiran atas makna penggunaan bahasa berdasarkan sudut pandang penerima (teks: bentuk bahasa) yang bertindak sebagai komunitas interpretif. Penerapan AWK dalam penggunaan bahasa pada debat publik menjelang Pilpres 2019 berdasarkan pandangan sosial budaya menghasilkan benang merah yang memisahkan perilaku berbahasa yang santun dari yang tidak santun.
Opini Anda
Klik untuk menuliskan opini Anda tentang koleksi ini!
Kembali
Process time: 0.015625 second(s)