Fenomena beragama di Indonesia menggambarkan sebuah polaritas; di satu sisi agama diyakini membawa kemaslahatan bagi umatnya, tapi pada tataran perilaku tidak mencerminkan apa yang diyakini itu. bahkan dijadikan legitimasi moral untuk melakukan tindak kekerasan. Secara psikologis. polarisasi ini dapat diabstraksikan melalui konstruk motif beragama: motif eksternal, yaitu agama digunakan untuk mencari sesuatu di luar agama itu sendiri; dan internal, yaitu motif beragama demi menjalin hubungan dengan Yang Kuasa. Dalam konteks budaya, pemahaman tentang keyakinan tertentu tidak lepas dari nilai-nilai yang dianut masyarakat. Nilai di sini adalah suatu keyakinan yang berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu yang tersusun berdasarkan derajat kepentingannya. Dalam konteks perilaku beragama, nilai mengarahkan seleksi dan evaluasi terhadap tingkah laku, individu, dan kejadian-kejadian yang mendorong maupun menghambat teraktualisasinya motif beragama. Tulisan ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan secara kuantitatif terhadap sampel yang berjumlah 412 mahasiswa (Atma Jaya n=248 dan Universitas Indonesia n=164). Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu dengan motif beragama ekstrinsik lebih mementingkan perlindungan terhadap aturan dan harmoni dalam hubungan sosial, terutama pentingnya aturan-aturan sosial, dengan tujuan memberi kepastian dalam hidup. Sedangkan subyek dengan motif beragama instrinsik memiliki nilai yang lebih mengarah kepada keselarasan diri, menerima bahwa manusia pada hakekatnya sama dan memperjuangkan kesejahteraan sesama. |