Pada prinsipnya sudah mendesak adanya pembaharuan dan pembangunan hukum, khususnya dalam lapangan hukum perdata, yang berwawasan nusantara (unifikasi) melalui kodifikasi berdasarkan ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945. Hasrat dan cita-cita ke arah ini pun sudah sejak tahun 1973 digariskan dalam GBHN, Ketetapan MPR No.IV/MPR/1973, yang berlanjut terus sebagai salah satu arah Pembangunan Hukum Nasional dalam GBHN 1993 sebagaimana tercantum dalam Ketetapan MPR No.II/MPR/1993, Bab IV. Akan tetapi disadari pula bahwa pembangunan hukum melalui kodifikasi tidaklah mudah. Diperlukan berbagai prasarana pendukung yang luas, mulai dari biaya, penelitian, pengkajian dan perumusan naskah akademis yang baik dan komprehensif. Dalam rangka ikut mengambil bagian dalam keseluruhan pembaruan dan pembangunan hukum perdata nasional itu, diadakanlah penelitian ini. Dengan berasumsi bahwa materi yang diperlukan untuk membangun hukum perdata nasional di Indonesia hendaknya digali dari hukum yang hidup di bumi Indonesia, yang lahir dari kesadaran hukum masyarakat Indonesia sendiri, maka hukum adatlah acuannya. Akan tetapi bukanlah hukum adat yang materi muatannya bersifat kedaerahan melainkan hukum adat yang netral, artinya hukum adat yang telah diseleksi melalui keputusan hakim desa, kemudian disaring kembali melalui keputusan hakim pengadilan negeri, dan akhir dirumuskan kembali oleh badan legislatif yang mempunyai kewenangan untuk membentuk hukum perdata nasional tersebut. Bertalian dengan hal itu, persoalan pertama yang muncul adalah apakah ada keputusan hakim desa yang menjadi pertimbangan hukum dalam keputusan pengadilan negeri? Jika ada, norma yang mana, dan bagaimana presepsi hakim tentang norma itu? Karena itulah penelitian mengenai penggunaan keputusan hakim desa tentang perkara perdata adat dalam keputusan pengadilan negeri di Indonesia adalah sangat menarik dan urgen. Namun sadar akan segala keterbatasan yang ada, studi kasus dalam penelitian ini dilakukan hanya di wilayah hukum Pengadilan Negeri Larantuka, Flores Timur. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif dan metode sosiologis/empiris serta metode perbandingan hukum perdata adat, kemudian melalui analisis kualitatif dengan analisis kuantitatif sebagai alat Bantu untuk memperoleh kesimpulan yang akurat, upaya menjawab persoalan-persoalan tersebut di atas dicoba. Hasil penelitian membuktikan bahwa sebagian besar aspek yang diteliti (hukum perorangan, hukum keluarga, hukum perkawinan, hukum tanah, hukum waris, hukum utang-piutang, dan hukum acara perdata adat) memang masih berlaku kedaerahan bagi masyarakat hukum adat yang bersangkutan, akan tetapi ada bagian-bagian tertentu pada hampir semua aspek yang diteliti dapat dikategorikan dalam hukum adat yang netral sebagai faktor penyumbang pembentukan hukum perdata yang dapat berlaku secara nasional, sekurang-kurangnya untuk sementara berlaku bagi masyarakat hukum adat yang patrilineal. Ada pula norma hukum adat tertentu yang tidak sesuai dengan asas perikemanusiaan dan perikeadilan sehingga harus dihapus dari hukum adapt setempat. Sayang sekali bahwa semua faktor penyumbang tersebut belum pernah digali, diolah, dan dirumuskan kembali dalam pertimbangan hukum keputusan-keputusan hakim Pengadilan Negeri Larantuka sepanjang sejarah berdirinya Pengadilan Negeri tersebut, ibarat harta terpendam yang tidak dapat dinikmati oleh masyarakat dan bangsa Indonesia seluruhnya yang sungguh sangat mendambakannya. Salah satu faktor penghambat yang juga merupakan temuan dari hasil penelitian ini adalah tingkat kesadaran hukum hakim-hakim di Pengadilan Negeri Larantuka yang masih relatif rendah. |