Anda belum login :: 27 Nov 2024 08:20 WIB
Home
|
Logon
Hidden
»
Administration
»
Collection Detail
Detail
Inflasi Global “New Normal” dan Implikasi pada Kebijakan Moneter Negara Maju
Oleh:
Rasyid, Arief Adrianto
Jenis:
Article from Bulletin/Magazine
Dalam koleksi:
Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerjasama International no. 1 (2018)
,
page 115.
Topik:
Fundamental ekonomi global
;
Pertumbuhan ekonomi dunia 2017
;
global financial crisis
;
high frequent indicators
;
normalisasi kebijakan
;
Inflasi
;
new normal
Isi artikel
Fundamental ekonomi global semakin membaik dan merata pada 2017. Pertumbuhan ekonomi dunia 2017 lebih tinggi dari periode pasca global financial crisis (Pasca-GFC 2012- 2016). Pengangguran global mencapai level terendah sejak pra-GFC (2001-2006). Sektor keuangan relatif kondusif. Indikator-indikator frekuensi tinggi (high frequent indicators) mengalami pemulihan yang semakin solid, kecuali inflasi yang masih bergerak di level rendah. Mayoritas bank sentral negara maju sepakat bahwa ekonomi global semakin membaik dan pulih dari GFC 2007-2008. Oleh karena itu, kebijakan stimulus seperti pembelian aset secara besar-besaran dan suku bunga super rendah perlu dikurangi (normalisasi kebijakan). Namun, masih terjadi polemik tentang apakah inflasi yang relatif rendah merupakan kondisi “new normal.” Jika demikian, bank sentral perlu menyesuaikan strategi normalisasi menjadi lebih agresif. Sejumlah kajian berhasil menunjukkan gejala inflasi “new normal” yang semakin nyata. Hasil kajian menyimpulkan target inflasi 2% di negara maju perlu direvisi menjadi sekitar 0%. Dengan demikian, mempertahankan kecepatan normalisasi seperti saat ini rawan menyebabkan lonjakan utang yang dapat memicu krisis keuangan ke depan. Keterlambatan respon juga mengakibatkan sulitnya pengendalian inflasi. Respon bank sentral negara maju sangat berpengaruh pada perilaku bank sentral lainnya, terutama negara berkembang. Jika bank sentral negara maju tetap meyakini target inflasi “old normal” 2%, kondisi stabilitas keuangan sekarang tidak terlalu banyak berubah. Namun di sisi lain, apabila keyakinan tersebut bergeser, normalisasi kebijakan akan lebih cepat dan intens, sehingga pasar keuangan global berpotensi bergejolak—karena dapat memicu pengetatan simultan secara global. Stance kebijakan moneter negara maju yang tetap melakukan normalisasi secara gradual merupakan “comfort zone” bagi negara berkembang. Apakah stance tersebut akan berubah menjadi agresif?. Hal tersebut akan ditentukan oleh perkembangan inflasi ke depan. Mengingat bank sentral seharusnya bersifat forward looking, stance yang diambil saat ini adalah refleksi dari pandangan bank sentral tentang inflasi di masa yang akan datang. Sebagai negara berkembang, hal yang perlu dicermati Indonesia adalah cara pandang bank sentral negara maju terhadap target inflasi masih mungkin berubah, mengingat diskusi tentang inflasi “new normal” masih bergulir.
Opini Anda
Klik untuk menuliskan opini Anda tentang koleksi ini!
Kembali
Process time: 0.015625 second(s)