Anda belum login :: 17 Feb 2025 09:02 WIB
Detail
BukuLiturgi: Perayaan Iman Gereja
Bibliografi
Author: Naben, Anton
Topik: LITURGIES; Liturgi
Bahasa: (ID )    
Penerbit: Unika Atma Jaya     Tempat Terbit: Jakarta    Tahun Terbit: 1990    
Jenis: Course Material (diktat)
Fulltext: Liturgi - Perayaan Iman Gereja.pdf (4.03MB; 8 download)
Ketersediaan
  • Perpustakaan Pusat (Semanggi)
    • Nomor Panggil: RR-053
    • Non-tandon: 1 (dapat dipinjam: 0)
    • Tandon: tidak ada
    Lihat Detail Induk
Abstract
Selama berabad-abad Liturgi Gereja sangat seragam, seolah ia tak menggubris corak kebudayaan khas tiap bangsa. Mengikuti Perayaan Ekaristi misalnya umat terpaksa mendengar semuanya berlangsung dalam bahasa Latin, bahasa yang sama sekali asing baginya. Dapat dibayangkan mutu daya-sapa liturgy semacam itu. Alasannya: demi persatuan yang harus ada di dalam Gereja. Benar?
Konsili Vatican II sungguh membanting stir. Ia menyadari bahwa ia tak ingin memaksakan suatu keseragaman kaku dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman. Ia justru mengharapkan agar setiap bangsa dengan kebudayaannya yang khas, dapat dan turut serta memperkaya Gereja. Maka akan nampak bahwa liturgy Gereja itu sungguh satu dalam iman tetapi beraneka ragam dalam pengungkapannya.
Tindakan Gereja itu bukan tanpa maksud yang mendasar. Tujuannya ialah agar supaya liturgi semakin selaras dengan cinta iman dan cita ibadat jemaat yang bersangkutan; liturgi itu semakin memiliki daya-sapa tinggi, liturgi itu sendiri semakin dekat di hati umat, dan semakin mampu menghantar mereka menunjukkan diri sebagai paguyuban jemaat dalam persekutuan dengan Allah.
Se1uruh proses usaha di atas ini sebenarnya muncul dan diilhami oleh gagasan dasar bahwa "Liturgi adalah sumber dan puncak seluruh hidup Kristen". Tanpa proses ini nampaknya liturgi akan menjadi asing bagi umat lalu gagasan bahwa liturgy adalah sumber dan puncak sebuah kehidupan Kristen akan jauh dari kenyataan. Ada gap antara liturgi yang dirayakan dan keadaan hati umat. Masing-masing berjalan sendiri.
Kini 20 tahun sesudah konsili akbar itu, apa hasilnya? Harus diakui bahwa gagasan di atas masih berada dalam tahap "Omong". Gagasan itu sering terlontar, dalam pertemuan tulisan dan omongan. Kenyataanya lain sama sekali. Gagasan konsili kebanyakan kali hanya berkisar dalam tahap pembicaraan. Tahap penerapan atau pengamalan masih belum jalan. Kita lebih banyak terpesona oleh revolusi yang ditimbulkan konsili vatikan II, sehingga terus asyik membicarakannya tanpa berbuat apa-apa.
Banyak teks buku dari Roma yang masih harus disesuaikan, namun orang mengambilnya begitu saja dan dipakai seutuhnya. Mungkin karena tidak mau repot atau karena alasan lain, tetapi memang adalah fakta yang tak bisa ditambah. Inisiatif untuk menyesuaikan atau menjabarkannya....? Kapan? Tetapi anehnya orang ter1alu cepat mengkambinghitamkan Roma, seolah dialah biang keladi segala kemacetan.
Simbolisme, emosi re1igius, spontanitas, musik syair, ceritera, drama, tarian dll adalah sebagian dari harta kekayaan bangsa kita. Apabila semua ini dimanfaatkan dan didayagunakan serta dikawinkan ke dalam 1iturgi Gereja, apa akan terjadi? Paling kurang daya-sapa liturginya akan jauh lebih kuat dari pada kenyataan sekarang; akan ada suatu vitalitas yang juga akan mempengaruhi praksis hidup sehari-hari.
Tak dapat disangkal bahwa ada pelbagai hambatan. Banyak umat sudah terbiasa malah dimanjakan untuk ikut saja apa yang sudah biasa dilakukan. Liturgi itu urusan petugas (Pastor); mengikuti liturgi berarti tenang sambil sibuk dengan doa-doa sendiri. Petugas liturgi pun tinggal membacakan apa yang sudah dicetak dalam buku. Pernah umat secara bercanda mengatakan "betapa mudahnya memimpin ibadat, tinggal membacanya saja!"
Konstitusi Liturgi mencanangkan "partisipasi aktif" agar liturgi sungguh merupakan perayaan iman Gereja (umat Allah). Namun sementara pihak justru gelisah karena liturgi terlalu bising, membuat orang sering malah tak mampu berkonsentrasi untuk mendalami misteri-misteri yang sedang di rayakan. Maka partisipasi yang dianjurkan itu yang memang sebenarnya dipaksakan, menjadi suatu bentuk kebersamaan yang dangkal.
Tawaran untuk inkulturasi sebenarnya baik namun merepotkan. Daripada capai-capai lebih baik memakai saja yang sudah baku karena mudah/tak merepotkan. Di sini lain orang berlagak "sok suci" yang memandang hal-hal seperti tarian, lagu-lagu rakyat, musik daerah dsb sebagai hal-hal profan belaka, tak pantas dibawa masuk dalam liturgi.
Tak boleh dilupakan bahwa kebudayaan kita sangat menghargai upacara-upacara yang kaya akan simbol-simbol. Tetapi warisan pendidikan yang terlalu menekankan rasio, selalu cenderung meremehkan simbolisme dengan menjelaskan segala-galanya dengan uraian, dengan banyak kata dan rumusan serta keterangan. Padahal justru banyak kata-kata ini membuat liturgi mandul. Liturgi yang sangat menekankan nalar akan membuat jurang antara liturgy dan kehidupan, antara agama dan hidup sehari-hari; maka sulit bagi umat untuk memahami apa yang sebenarnya sedang dirayakan oleh liturgi Kristen. Liturgi memang terlalu kering karena sarat dengan kata-kata tapi miskin simbol dan yang terakhir ini justru punya daya-sapa lebih kuat.
Gagasan konstitusi Liturgi pada dasarnya mengharapkan kreativitas. Masalahnya, kreativitas membutuhkan orang yang bersikap "mau repot" asal mencapai hasil. Anehnya, banyak orang justru tak mau kreatif, nanti repot. Orang terbiasa dengan barang jadi. Mengolah dan menjabarkan baKah baku hanya merepotkan saja. Kreativitas masih merupakan barang langka. Orang dapat "ya" dalam prinsip tetapi "tidak" dalam praksis.
Liturgi kita kering, tak mengena. Memanfaatkan unsur-unsur kekayaan bangsa; memasukkannya dalam liturgy Rasanya masih belum mulus. Kita bangsa memiliki kebudayaan yang kaya, namun serasa kurang percaya diri untuk memasukkan dalam liturgi. Perasaan takut berbuat salah masih menghinggapi kita. Kitalah yang membuat liturgi kita tak menarik. Kita menunggu mungkin akan datang masanya; mungkin di masa depan.
Konsili sudah tegas menyatakan bahwa Gereja local itu bukan "potongan" dari Gereja Universal, melainkan "epifani"nya penampakannya). Maka inkulturasi dalam liturgy Gereja Indonesia akan menampakkan Gereja Universal dengan induknya. Bagaimana?
Opini AndaKlik untuk menuliskan opini Anda tentang koleksi ini!

Lihat Sejarah Pengadaan  Konversi Metadata   Kembali
design
 
Process time: 0.171875 second(s)