Anda belum login :: 23 Nov 2024 03:11 WIB
Home
|
Logon
Hidden
»
Administration
»
Collection Detail
Detail
Tradisi Kewenangan Mengadili Sengketa Hasil Pemilukada
Oleh:
Bisariyadi
Jenis:
Article from Bulletin/Magazine - ilmiah lokal
Dalam koleksi:
Konstitusi no. 99 (Mei 2015)
,
page 6-7.
Topik:
UU nomor 8/2015
;
Pemilukada
;
sengketa pemilukada
;
pengadilan sengketa pemilukada
Fulltext:
KK3106992015.pdf
(148.92KB)
Ketersediaan
Perpustakaan Pusat (Semanggi)
Nomor Panggil:
KK31
Non-tandon:
tidak ada
Tandon:
1
Lihat Detail Induk
Isi artikel
Dengan diterbitkannya UU nomor 8/2015 berakhir sudah polemik mengenai siapa yang berwenang untuk mengadili sengketa pemilukada. Kewenangan tersebut disematkan kepada badan peradilan khusus yang akan dibentuk. Akan tetapi, nama, kedudukan, prosedur beracara serta hakim yang akan duduk pada badan peradilan khusus tersebut belum ada. Sebelum badan peradilan khusus itu terbentuk, MK masih akan memegang kewenangan untuk menangani sengketa pemilukada. Namun, apakah kebijakan transisional ini memiliki legitimasi konstitusional? Polemik mengenai kewenangan mengadili sengketa hasil pemilu justru diawali dari putusan MK sendiri. Dalam putusan Nomor 97/PUU-XI/2013, MK menyatakan norma yang memberi kewenangan kepada MK untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilukada adalah inkonstitusional. Padahal dalam putusan sebelumnya, Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004, pertimbangan majelis hakim memberi ruang seluas-luasnya kepada pembuat UU. Keputusan pembuat UU memberi kewenangan penyelesaian sengketa pemilukada kepada badan peradilan manapun adalah sah dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Kebijakan mengenai badan peradilan mana yang patut diberikan wewenang untuk mengadili sengketa hasil pemilukada merupakan pilihan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) yang menjadi ranah Pembuat UU untuk memilihnya. Pilihan kebijakan yang diambil pembentuk UU tidak dapat secara serta merta dapat dibatalkan. Pada putusan Nomor 26/PUU-VII/2009, MK telah merumuskan kriteria pilihan kebijakan yang tidak dapat dibatalkan, yaitu bila kebijakan yang diambil (i) tidak melampaui kewenangan pembentuk UU, (ii) tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta (iii) tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.
Opini Anda
Klik untuk menuliskan opini Anda tentang koleksi ini!
Kembali
Process time: 0.015625 second(s)