Disparitas Putusan Terkait Penafsiran Pasal 2 Dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Kajian terhadap 13 Putusan Pengadilan Tipikor Bandung Tahun 2011-2012  

Oleh:

Melani

Jenis: Article from Journal - ilmiah nasional
Dalam koleksi: Jurnal Yudisial vol. 7 no. 02 (Aug. 2014), page 103-116.
Topik: penemuan hukum; korupsi; penyalahgunaan wewenang

Ketersediaan

Perpustakaan Pusat (Semanggi) Nomor Panggil: JJ156 Non-tandon: 1 (dapat dipinjam: 0) Tandon: tidak ada

Lihat Detail Induk

Isi artikel

Oenemuan hukum oleh hakim dalam putusan pengadilan sangatlah penting. Namun penemuan tersebut didasarkan pada penafsiran hukum yang keliru, maka langkah tersebut tidaklah dapat dikatakan sebagai penemuan hukum dan justru berimplikasi pada munculnya kekecewaan masyarakat. Hasil analisis terhadap 13 putusan pengadilan menunjukkan adanya disparitas penafsiran hukum baik secara horizontal maupun vertikal atas Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di antara penafsiran hukum yang paling menonjol yang digunakan hakim adalah penafsiran restriktif, sehingga unsur "setiap orang" dalam Pasal 2 ditafsiran sebagai orang yang bukan pegawai negeri atau pejabat negara, sedangkan unsur "setiap orang" dalam Pasal 3 ditafsirkan sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Penafsiran tersebut tidaklah masuk akal karena berakibat pegawai negeri atau pejabat negara tidak dapat dijerat Pasal 2 (perbuatan melawan hukum) dan hanya dijerat dengan Pasal 3 (penyalahgunaan wewenang). Ancaman hukuman minimal Pasal 3 jauh lebih ringan daripada ancaman hukuman Pasal 2, sehingga putusan yang didasarkan pada penafsiran restruktif tersebut berimplikasi pada ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Di samping itu secara penafsiran sistematis hal demikian bertentangan dengan payung hukum pudana karena menurut Pasal 52 KUHP, ancaman bagi tindak pidana dalam jabatan ditambah sepertiga.

Opini Anda

Klik untuk menuliskan opini Anda tentang koleksi ini!

Kembali