Industri pertambangan kelihatannya akan mengalami perubahan cukup mendasar pada abad 21, dengan segala tantangan dan peluangnya seiring dengan meningkatnya kesadaran HAM, lingkungan hidup dan demokratisasi. Beberapa perubahan terpenting yang sedang dan akan terjadi antara lain adalah pengembangan industri pertambangan global, penswastaan tambang-tambang nasional, pergeseran geografis kegiatan eksplorasi, pergeseran 'wewenang" pembuat keputusan, menguatnya isu-isu sosial-budaya, resiko pertambangan, dan menguatnya kendala-kendala global. Kemampuan industri pertambangan menjawab tantangan tersebut akan mewarnai sejarah pertambangan abad 21. Industri pertambangan global diartikan sebagai industri pertambangan yang secara aktif menanamkan modal dan melakukan kegiatan di seluruh dunia. Hal ini terjadi sebagai upaya pengembangan perusahaan-perusahaan tambang besar, atau pengembangan perusahaan-perusahaan yang baru melalui merger atau akuisisi. Perkembangan ini kelihatannya dimulai pada awal dekade 80-an ketika beberapa perusahaan-perusahaan minyak masuk ke dalam industri mineral dengan upaya yang lebih diarahkan kepada penganekaan sumber dasar perusahaan, membentuk perusahaan yang lebih terpadu untuk memperkuat daya tembus pasar baru. Penswastaan tambang-tambang nasional dimulai pada awal dekade 80-an saat harga dan kebutuhan logam yang rendah harus menuju ke perampingan industri mineral di seluruh dunia bahkan penutupan beberapa tambang besar, pengurangan dana perusahaan negara, penurunan kegiatan eksplorasi. Akibatnya banyak negara dihadapkan kepada masalah perlunya penarikan dana dari investor swasta dan asing untuk menyehatkan perusahaan-perusahaannya. Hal ini terdapat di Amerika Latin dan Amerika Selatan, Asia dan Eropa. Faktor pendorong dalam penswastaan ini bagi kebanyakan negara adalah kebutuhan akan modernisasi dan rehabilitasi industri yang umumnya dirasakan kurang efisien. Selama tahun 80-an dan awal 90-an, investasi eksplorasi dan pertambangan mineral terkonsentrasi di Amerika, Kanada, dan Australia dan umumnya di dominasi oleh emas dan tembaga. Awal dan pertengahan 90-an terjadi pergeseran dramatis dengan bangkitnya Amerika Selatan terutama Chili sebagai pusat eksplorasi tambang-tambang utama. Eksplorasi mineral juga telah menyebar di daerah Asia Pasifik terutama di Indonesia, Papua New Guenia, dan Filipina. Peningkatan kegiatan eksplorasi di daerah Asia Pasifik, disebabkan tingkat keberhasilan eksplorasi selama 2 dekade terakhir, misalnya pembukaan daerah-daerah Papua New Guenia (Lihir, OK Ted, Porgera) dan Indonesia (Batu Hijau, Busang). Selama kurun waktu 1985-1995 diperkirakan lebih dari 35 negara melakukan perubahan besar pada kebijaksanaan dan peraturan bahan galian yang bertujuan meningkatkan investasi swasta dan asing dalam pertambangan. Dengan singkat perubahan utama dalam kebijaksanaan dan peraturan mineral dipusatkan pada pembentukan iklim investasi yang lebih liberal, melalui : kemantapan politik dan hukum, kepastian hak barusaha, penyelesaian urusan pada satu lembaga dan lain-lain. Dalam hubungan ini, dikenal kecenderungan thick to thin' dengan beralihnya peraturan yang tacfnya komperhensif dan rinci (thick) ke peliputan prinsip-prinsip utama (thin). Kecenderungan pemberdayaan rakyat dan desentralisasi akan berakibat beralihnya pembuat keputusan atas pengembangan sumber daya mineral. Dalam konteks ini pemberdayaan rakyat diartikan sebagai peran penduduk lokal dalam membuat keputusan tentang bahan galian di daerahnya sedangkan desentralisasi adalah peralihan peran pemerintah pusat ke Dati I atau Dati II. Akibatnya keberhasilan atau kegagalan pengembangan mineral bukan lagi merupakan keputusan pemerintah (pusat yang menasional) atau industri, tetapi lebih ditentukan oleh negosiasi yang lebih kompleks pada setiap tingkatan (yang bahkan dimulai dan perorangan sampai ke seluruh pihak) di lokasi tambang. Konsekuensi desentralisasi dan pemberdayaan rakyat adalah meningkatnya peran isu sosial budaya dalam keseluruhan proses pengambilan keputusan. Dalam hal ini hampir tidak ada perusahaan yang cukup memahami isu-isu sos-bud dimaksud mengingat dampak sos-bud dari pengembangan mineral sangat beraneka tergantung dari tingkat perkembangan masing-masing daerah misalnya dari tingkat primitif di Irian Jaya sampai masyarakat yang sudah maju di Australia, Kanada dan AS. Resiko dalam pertambangan cukup dikenal (resiko eksplorasi / eksploitasi / pemasaran, yang lebih beraspek teknis) dan resiko tradisional (politik / ekonomi) yang pengurangannya diupayakan melalui pembentukan konsorsium internasional Resiko "baru" adalah yang berkenaan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan yang di masa depan mungkin akan diperluas ke isu kebudayaan dan ekonomi. Kendala global timbul (meningkat) sebagai akibat langsung dan peluang pinjaman (lembaga) internasional, terbentuknya blok-blok ekonomi dan secara tidak langsung dari LSM dan pemegang saham perusahaan. Dengan mengenali beberapa kecenderungan perubahan diatas, kita dapat membuat persiapan misalnya meningkatkan SDM di Dati I dan II sekaligus mempersiapkan daerah secara fisik (infrastruktur) dan "non fisik" (sikap penduduk lokal). Dasar persiapan kita sudah jelas, yaitu implementasi UUD 45 pasal 33 (pemanfaatan bahan galian), GBHN (pemberdayaan rakyat dan daerah, koperasi dan lain-lain) dan UU Pokok Pertambangan no. 11 tahun 1967. |