Perlindungan hukum bagi korban tertukarnya bayi pascalahir di Rumah Sakit Sentosa merupakan isu yang sangat penting, mengingat dampak psikologis, sosial, dan hukum yang mungkin terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah mengenai pertanggungjawaban hukum yang diberikan terhadap Rumah Sakit Sentosa terhadap kasus tertukarnya identitas bayi pascalahir dan juga pandangan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terhadap hak-hak yang dilanggar berdasarkan undang-undang tersebut di dalam kasus tertukarnya identitas bayi pascalahir. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dengan cara menganalisis berdasarkan library research/ studi dokumen menggunakan kajian peraturan perundang-undangan yang relevan, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan, serta berbagai regulasi dan peraturan pelaksana lainnya, jurnal-jurnal, buku-buku, dan sumber bacaan lainnya yang terkait dengan permasalahan hukum yang terdapat di penelitian ini. Berdasarkan berdasarkan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, rumah sakit diwajibkan untuk memperhatikan kewajibannya sebagai pelaku usaha. Dalam kasus tertukarnya bayi, meskipun dapat diselesaikan melalui mediasi, korban tetap bisa menuntut pertanggungjawaban pidana terhadap rumah sakit. Berdasarkan Pasal 45 ayat (3) dan Pasal 8 ayat (1) UUPK, rumah sakit dapat dikenai sanksi pidana berupa penjara hingga 5 tahun atau denda maksimal Rp 2 miliar sesuai Pasal 62 UUPK. Selain itu, rumah sakit dapat menjatuhkan sanksi internal kepada perawat yang terlibat, seperti pencabutan izin praktik. Juga, hak konsumen dan anak harus diperhatikan oleh pelaku usaha, atas dasar tersebut rumah sakit harus berperan dalam bertindak preventif dengan memastikan Standar Prosedur Operasional telah dijalankan dengan baik. |