Dengan perkembangan zaman, manusia selalu berusaha memperbarui berbagai aspek kehidupannya, terutama dalam teknologi dan komunikasi. Digitalisasi membawa banyak dampak positif, seperti peningkatan konektivitas global dan peluang ekonomi baru melalui perdagangan elektronik. Indonesia juga merasakan dampak globalisasi digital, baik positif maupun negatif. Namun, perubahan ini juga menimbulkan masalah baru yang dikenal sebagai kejahatan siber. Kejahatan siber atau cybercrime mencakup berbagai kejahatan yang menggunakan komputer, termasuk penipuan, pencurian identitas, dan pelanggaran privasi. Salah satu karakteristik dari kejahatan siber yaitu terjadi di luar batas negara, sehingga menyulitkan penegakan hukum dan kerjasama internasional. Untuk mengatasi masalah ini, pada tahun 2001 Dewan Eropa mengadakan Konvensi tentang Tindak Pidana Telematika di Budapest, Hongaria yang bertujuan mengatasi cybercrime secara global. Namun demikian, hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Budapest 2001 karena dianggap bertentangan dengan prinsip kedaulatan data. Apa saja hambatan yang dihadapi oleh Indonesia dalam menghadapi kejahatan siber sehingga perlu untuk segera melakukan aksesi terhadap Konvensi Budapest? Melalui penelitian metode empiris yang dilakukan dengan mengkaji berbagai artikel, buku, jurnal, dan wawancara melalui e-mail dengan Sekretariat Komite Konvensi Budapest, ditemukan bahwa Indonesia menghadapi berbagai hambatan dalam mengatasi kejahatan siber, seperti kurangnya personel kepolisian yang ahli di bidang siber dan kerangka hukum yang belum memadai serta kurang memberikan kepastian hukum dalam persekusi kejahatan siber. Hambatan-hambatan ini dapat diatasi dengan melakukan aksesi terhadap Konvensi Budapest, yang merupakan landasan hukum paling relevan untuk mengatasi dan mencegah kejahatan siber secara global. Mengingat kejahatan siber sering terjadi lintas batas negara dan terus berkembang pesat, Indonesia perlu menjadi bagian dari Konvensi Budapest. |