Dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan modal untuk usaha, peminjaman dana melalui perjanjian utang-piutang menjadi solusi yang diminati. Namun tidak selamanya kreditur dapat memenuhi kewajibannya sebagai pemberi dana, sehingga salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah pengalihan hak tagih (piutang) melalui cessie. Cessie mengalihkan tagihan atas nama dari kreditur lama ke kreditur baru tanpa menghilangkan perjanjian awalnya dengan debitur yang didasari Pasal 613 ayat (1) KUHPerdata. Pengalihan melalui cessie sering dijumpai pada Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang memungkinkan debitur merektrukturisasi utangnya. Kendati demikian, eksistensi dari cessionaris sebagai kreditur baru sering dipertanyakan kedudukannya dan keabsahaan dari peralihan yang dilakukan, yang mana sering menyebabkan kedudukan cessionaris sebagai kreditur dalam permohonan pkpu tidak dianggap dan tentunya merugikan cessionaris tersebut. Sehingga, melalui penelitian ini akan ditelili terkait mekanisme cessie yang sah menurut hukum perdata, sehingga cessionaris dapat berpartisipasi dalam PKPU, memberikan kejelasan hukum dan perlindungan bagi cessionaris. Metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif untuk mengidentifikasi konsep, asas-asas, dan aturan hukum terkait kedudukan kreditur baru dari pengalihan piutang cessie dalam konteks permohonan PKPU. Penelitian ini menemukan bahwa Pasal 613 KUHPerdata menjadi pedoman hukum untuk cessie, namun tidak menjamin bahwa cessionaris dianggap sebagai kreditur dalam permohonan PKPU. Pasal 613 KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak memberikan petunjuk terkait kedudukan cessionaris dalam proses permohonan, menyebabkan pandangan hakim yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, diperlukan regulasi yang jelas untuk mengakui cessionaris sebagai kreditur dalam proses PKPU. |