Sebagaimana ungkapan “tidak ada yang abadi”, akan datang waktunya bagi manusia untuk meninggal dunia. Hal ini menjadikan pewarisan sebagai hal yang penting dalam kehidupan manusia mengingat adanya harta yang ditinggalkan. Penulisan hukum ini diangkat daripada suatu kasus yang melibatkan ibu dan anaknya dimana ibu tersebut memiliki utang kartu kredit yang harus dilunasi. Saat ditagih oleh pihak penerbit kartu kredit, ibu tersebut menghilang dan tidak diketahui keberadaannya sehingga pihak penerbit kratu kredit tersebut menagih utang tersebut kepada anaknya sebagai pemegang kartu kredit tambahan. Dalam hal ini, anak tersebut tidak mau melunasi utang ibunya dikarenakan hubungan yang tidak baik dengan ibunya yang sudah berlangsung lama. Terkait hal tersebut, penulisan hukum ini akan menjelaskan mengenai apakah orang tua yang hilang dapat secara otomatis dinyatakan sebagai pewaris dan apakah anak (ahli waris) wajib melunasi utang yang dibuat oleh orang tua (pewaris) yang dinyatakan hilang menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian normatif dengan menggunakan sumber data sekunder beserta bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan penelitian hukum ini. Penulis memberikan kesimpulan bahwa orang tua yang hilang, atau tidak hadir, tidak dapat langsung dianggap sebagai pewaris melainkan perlu memenuhi jangka waktu dalam tiga tahapan yakni masa pengambilan tindakan sementara, masa dugaan telah meninggal, dan masa pewarisan definitif. Selain itu, tidak ada kewajiban bagi anak sebagai ahli waris golongan pertama untuk melunasi utang-utang yang ditinggalkan orang tua sebagai pewaris dengan mengambil sikap menerima dengan syarat (beneficiar) atau menolak warisan yang jatuh kepadanya. |