Menjamurnya eksistensi self-driving vehicles di dunia sebagai upaya mengatasi angka kecelakaan lalu lintas akibat human error tidak serta-merta menjadi solusi yang utuh. Hal ini dikarenakan ketertinggalan hukum dalam mengikuti perkembangan zaman. Saat ini organisasi-organisasi internasional beserta negara-negara sedang berlomba-lomba untuk mempersiapkan regulasi khusus terkait dengan self-driving vehicles agar inovasi ini dapat terus berkembang dan menjadi solusi sesuai dengan tujuan dikembangkannya. Rancangan regulasi ini penting melihat keterlibatan artificial intelligence dalam pengoperasian kendaraan yang menyebabkan adanya risiko terjadi malfungsi sehingga menyebabkan kecelakaan (kerugian) lalu lintas. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui kedudukan teknologi self-driving (artificial intelligence) dalam hukum agar dapat mengetahui pertanggungjawaban atas kerugian yang terjadi. Namun, saat ini Indonesia belum memiliki pengaturan terkait dengan hal tersebut, sehingga akan dianalisa menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan hasil analisa, teknologi self-driving merupakan objek hukum yang pertanggungjawabannya dibebankan kepada subjek hukum yang memiliki kaitan dengan objek tersebut. Dalam hal tersebut bisa perusahaan pembuat teknologi, perusahaan jual-beli kendaraan atau perusahaan angkutan, pemilik kendaraan hingga pengemudi. Penentuan pihak yang dibebankan tanggung jawab dapat dilakukan dengan menggunakan teori-teori kausalitas dan beban tanggung jawab yang dapat dimintakan adalah kerugian materiil dan kerugian immateriil dengan besaran yang dapat mengacu pada Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. |