Penelitian membahas tentang tindakan eksibisionisme yang yang termasuk kejahatan pidana kesusilaan yang diatur dalam Pasal 281 KUHP dan Pasal 10 Jo. Pasal 36 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Masalah penelitiannya adalah: (1) bagaimana ukuran pelaku eksibisionis yang dapat dimintai pertanggungjawaban dan yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana?, (2) bagaimana cara hakim membuktikan bahwa pelaku tindak pidanaa kesusilaan tersebut mengalami gangguan kejiwaan (eksibisonisme) atau tidak mengalami gangguan kejiwaan (eksibisonisme)?, (3) bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pelecehan seksual yang mengalami gangguan kejiwaan (eksibisonisme) jika mengulangi tindak pidananya? Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, data yang dipakai yaitu data sekunder, dan dianalisa secara kualitatif. Hasil penelitiannya yaitu Dalam penjatuhan pidana, unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai perbuatan yang telah melanggar hukum dan dapat dijatuhi sanksi yaitu: kemampuan bertanggungjawab, adanya kesalahan dan tidak adanya alasan pemaaf. unsur mampu bertanggungjawab itu mencakup keadaan jiwa dimana tidak terganggu oleh penyakit secara terus menerus, tidak cacat pertumbuhan, tidak terganggu dan sebagainya. seseorang yang melakukan perbuatan eksibionisme atau pelaku mampu mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya apabila memenuhi unsur delik dalam aturan yang berlaku. Unsur kesalahan merupakan peran yang penting, karena suatu perbuatan dari pelaku bukan merupakan tindak pidana tanpa pikiran yang salah. Hukum pidana Indonesia mengkualifikasikan orang yang mengidap eksibisionisme sebagai orang yang memiliki kemampuan bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, meskipun dalam beberapa peraturan perundang-undangan secara tidak langsung mengatur perbuatan tersebut. Ukuran pelaku eksibisionis yang bisa dimintai pertanggungjawaban adalah keadaan jiwanyan yang dapat dilihat dari hasil pemeriksaan ahli yang disini adalah dokter kejiwaan. Atas hasil pemeriksaan tersebut, hakim menentukan sejauh mana kondisi kejiwaan pelaku mempengaruhi perbuatannya, untuk kemudian ditentukan mengenai kemampuannya mempertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatannya. Dalam hal jika pelaku mengulangi tindak pidana maka kasus hukum pelaku tetap diproses. Jika kondisi kejiwaannya dan mental pelaku dinilai siap, maka persidangan dilangsungkan sesuai dengan peraturan yang ada. Apabila kondisinya pelaku tidak kunjung membaik, maka pelaku dapat terus “ditahan” dan diwajibkan menjalani pengobatan yaitu rehabilitasi. |