Mahkamah Agung menerapkan layanan peradilan secara elektronik untuk pertama kali yaitu pada tahun 2018 yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara Pengadilan Secara Elektronik yang diselanjutnya disebut sebagai Perma Nomor 3 Tahun 2018. Dimana layanan elektronik tersebut meliputi pendaftaran, pembayaran, dan pemanggilan pihak secara elektronik untuk mendukung terwujudnya tertib administrasi perkara yang professional, transparan, akuntabel, efektif, efisien, dan modern. Yang mana Mahkamah Agung menerbitkan Perma Nomor 3 Tahun 2018 untuk memberikan bantuan hukum bagi implementasi terhadap e-court. Namun, Perma Nomor 3 Tahun 2018 masih belum maksimal penggunaanya karena hanya sebatas administrasi perkara elektronik saja tanpa ada persidangan elektronik, sehingga Mahkamah Agung menerbitkan Perma Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan Secara Elektronik sebagai pengganti atas Perma Nomor 3 Tahun 2018. Akan tetapi Perma tersebut juga mengalami perubahan dengan diterbitkannya Perma No 7 Tahun 2022 dan juga SK KMA No 363/KMA/SK/2022. Ketidaksesuaian di antara Perma dengan SK KMA juga memberikan ketidakpastian hukum terhadap masyarakat selaku pencari keadilan. Penulisan ini akan membahas terkait bagaimana pengguna lain dapat bersidang secara elektronik di Pengadilan Negeri dan bagaimana implementasi Perma No 7 Tahun 2022 dengan SK KMA No 363/KMA/SK/XII/2022, apakah hal bersifat alternatif atau imperatif. Untuk membahas penelitian ini Penulis menggunakan metode yuridis normatif dengan analisis bersifat kualitatif. Pengguna lain yang dimaksud dalam Perma adalah pengguna resmi yang harus mendaftarkan dirinya terlebih dahulu melalui tahapan-tahapan pendaftaran akun. Lalu pengajuan upaya hukum banding secara elektronik merupakan salah satu opsi alternatif dalam upaya hukum banding dikarenakan nilai hukum daripada Perma Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Perma No 3 Tahun 2019. |