PKPU merupakan suatu kesempatan bagi debitor agar dapat menyelesaikan sengketa utangnya dengan melakukan langkah perdamaian dan musyawarah, yang diharapkan tidak langsung dipailitkan, tetapi memberikan kesempatan untuk memperbaiki ekonomi agar dapat melunasi utangnya sehingga tidak merugikan kreditornya. Salah satu syarat pengajuan permohonan PKPU adalah terpenuhi Pasal 8 ayat (4) UUK PKPU, akan tetapi bagaimana penerapan Pasal ini jika utang tersebut berkaitan dengan suatu Tindak Pidana Korupsi. Penulisan Hukum ini membahas mengenai penerapan Pasal 8 ayat (4) UUK PKPU yang menggunakan data sekunder yang dimana data-nya diperoleh dengan cara melakukan riset terhadap peraturan-peraturan, teori-teori hukum, buku-buku, pendapat ahli, jurnal, dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan judul dan permasalahan dalam penelitian. Majelis Hakim sependapat dengan seorang ahli bahwa Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU adalah bukti yang kasat mata, dan bukti yang tidak kasat mata tidak dapat dipailitkan atau di PKPU, dan terdapat yurisprudensi yang mana Hakim berpendapat tidak sederhana adalah jika pertama, apabila terdapat exception non adimpleti contractus, terdapat tindak pidana dalam perbuatan perikatan utang piutang, dan terdapat suatu keadan Force Majeure. Penerapan Pasal 8 ayat (4) UUK PKPU tentang suatu keadaan atau fakta yang terbukti sederhana dalam kasus ini yang dikaitkan dengan Putusan Nomor 1132K/PID.SUS/2018, tidak terpenuhi dan permohonan PKPU ditolak, lantaran Pemohon PKPU menagih akan utang yang uangnya telah dirampas untuk negara terkait tindak pidana korupsi, melanggar perjanjian komitmen dan sponsorship serta penyelewengan yang dilakukan oleh Relawan dalam program CSR ini, maka utang tersebut bukan suatu utang yang dapat ditagih kepada Termohon PKPU. |