Adat perkawinan tangkap atau yang disebut Pitti Maranggangu oleh Suku Sumba termasuk kejahatan khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan, hal ini dikarenakan adat ini sering dilaksanakan tidak sesuai adat sebenarnya sehingga termasuk tindakan kekerasan seksual yaitu pemaksaan perkawinan, merampas hak-hak korban, dan termasuk dalam penculikan. Banyaknya kasus mengenai Pitti Maranggangu ini perlu diteliti mengapa masih terdapat banyak korban dari adat ini. Para korban dari Pitti Maranggangu masuk dalam kategori biologically weak victims dimana semua korban adalah perempuan yang dikategorikan sebagai orang yang memiliki potensial untuk menjadi korban. Adat ini terjadi dikarenakan budaya yang berasal dari sifat patriarki yang merendahkan pihak perempuan sebagai manusia yang bebas. Sehingga para korban juga masuk ke dalam kategori socially weak victims. Perempuan sebagai korban Pitti Maranggangu tidak dapat dipungkiri lagi pastilah menderita trauma psikis yang berat yang kemudian memang Negara perlu untuk memfasilitasi korban dalam upaya memulihkan kondisi kejiwaan dan traumanya. Dengan adanya perlindungan hukum dari LPSK, penjaminan atas rasa aman terhadap saksi dan korban pun menjadi semakin kuat. Menurut kajian viktimologi terdapat sejumlah kebutuhan korban kejahatan selain dibawanya pelaku dalam persidangan. Kebutuhan tersebut yaitu keamanan, akses, informasi, dukungan, keberlanjutan dan suara. |