Penyelesaian sengketa kepailitan menjadi bagian penting yang mendukung kemudahan berusaha di Indonesia. Hal ini menjadi acuan investor untuk memastikan apakah utang dapat dibayarkan, sekaligus juga memastikan apakah perusahaan yang memiliki kesulitan keuangan mempunyai mekanisme untuk direstruktur utangnya. Force Majeure memiliki hubungan yang erat dengan ganti rugi pada suatu perjanjian yang disebabkan oleh force majeure membawa konsekuensi hukum. Konsekuensi hukum yang terjadi bukan hanya berupa hilang atau tertundanya prestasi para pihak namun, force majeure juga dapat membebaskan para pihak untuk dapat memberikan ganti rugi akibat tidak terlaksananya kontrak. Sengketa kepailitan sendiri termasuk kedalam kategori permohonan, walaupun berbentuk permohonan, UUK-PKPU menetapkan bahwa pengadilan memberikan keadilan dalam bentuk putusan pengadilan. Permohonan PKPU dapat dikabulkan jika utang tersebut terbukti telah jatuh tempo dan dapat ditagih, status jatuh temponya sudah tidak disengketakan. Pengadilan Niaga pun tidak dapat memaksa debitur untuk membayar utang bila hal tersebut masih disengketakan. Beberapa pailit yang dimohonkan tersebut telah diajukan saat kekayaan debitur masih cukup besar. Ironisnya permohonan yang diajukan tersebut, diputuskan pailit oleh pengadilan. Lalu bagaimanakah jika terjadi kesalahan dalam praktiknya meskipun secara formil sudah memenuhi unsur unsur Force Majeure secara patut namun, kreditur tetap ingin debitur bertanggung jawab atas objek dan/atau subjek dalam perjanjian tersebut. Sehingga timbul pertanyaan bagaimana pemberlakuan alasan Force Majeure dalam keadaan pailitnya suatu badan hukum menurut pasal 1244 dan pasal 1245 Kitab Undang Undang Hukum Perdata? Dan Apakah keadaan pailitnya sebuah badan hukum dapat dikatakan sebagai alasan Force Majeure? Berdasarkan persoalan diatas, maka dapat memberikan beberapa isu menarik dalam mengkaji persoalan evaluasi kepailitan yang sedang terjadi. Berdasarkan permasalahan diatas pula, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang kemudian disusun dalam bentuk skripsi dengan metode penelitian yuridis normatif. Sehingga pada akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa pailitnya suatu badan hukum dapat dikatakan keadaan memaksa sehingga dapat membebaskan debitur memenuhi prestasinya jika alasan pailitnya badan hukum tersebut tidak memiliki unsur kesengajaan dan memenuhi unsur unsur keadaan memaksa (force majeure). |