Pemerintah dan DPR telah bersepakat untuk melaksanakan Pemilu secara serentak pada tahun 2024 melalui Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Hal itu menyebabkan 24 provinsi yang menyelenggarakan Pilkada tahun 2022 dan 2023 harus ditunda sampai 2024 serta kepala daerah hasil Pilkada tahun 2020, hanya menjabat sampai tahun 2024. UU Pilkada menjelaskan bahwa kekosongan jabatan kepala daerah akan diisi oleh Penjabat (PJ) Gubernur yang diangkat atau ditetapkan oleh presiden berdasarkan usul Menteri Dalam Negeri sebagaimana diterangkan dalam Pasal 201 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Adapun polemik yang ditimbulkan dari hal ini antara lain; bahwa kekosongan jabatan (vacuum of power) kepala daerah dalam waktu yang sangat lama, serta masa jabatan kepala daerah hanya berkisar empat tahun. Bahwa mekanisme pengangkatan PJ gubernur sama sekali tidak dijelaskan secara spesifik dalam UU tentang Pilkada. Bahwa adanya mekanisme penunjukan langsung tentunya bertentangan dengan makna “demokratis” yang diterangkan dalam Pasal 2 UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pilkada yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Selain itu, adanya penunjukan langsung dapat membatasi partisipasi masyarakat daerah dalam memilih pemimpin. Atas dasar itu, lantas muncul pertanyaan ke permukaan, bagaimanakah pengisian kekosongan jabatan gubernur berdasarkan Pasal 201 ayat (10) Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada? dan apakah mekanisme pengaturan pengisian jabatan gubernur sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi di Indonesia? Adapun kajian tulisan ini bersifat normatif dengan pendekatan peraturan perundang- undangan. Hasil analisis terkait permasalahan tersebut menyimpulkan, bahwa pengangkatan atau penetapan penjabat (PJ) kepala daerah yang akan memimpin selama dua sampai tiga tahun memberikan ketidakpastian terhadap otonomi di daerah, dan mereduksi prinsip demokrasi konstitusional. Selain itu, penunjukan secara langsung PJ oleh presiden atas usul Menteri merupakan mekanisme minimum demokrasi prosedural karena tidak adanya partisipasi masyarakat secara langsung. Dalam hal ini, prosedur demokrasi tetap dilaksanakan namun hanya dalam kadar yang sangat kecil. |