Trading In Influence, merupakan satu diantara perbuatan yang menjadi delik Tindak Pidana Korupsi dalam United Nations Covention Against Corruption (berikutnya disebut seabgai UNCAC). Perbuatan tersebut diklasifikasikan sebagai Non-Mandatory Offence, sehingga negara-negara yang melakukan ratifikasi terhadap UNCAC dapat memilih untuk memasukan atau tidak memasukan perbuatan tersebut sebagai unsur delik dalam Hukum Positif. Indonesia merupakan salah satu negara anggota yang telah meratifikasi UNCAC melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, belum memasukan Trading In Influence dalam Peraturan Perundang-undangan terkait pemberantasan Korupsi di Indonesia. Oleh karena itu, perbuatan Trading In Influence bukanlah suatu perbuatan Tindak Pidana (Strafbaarfeit) di Indonesia, walaupun perbutan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum umum (Wederrechtlijkheid). Ironisnya, terdapat perkara-perkara Tindak Pidana Korupsi yang didakwakan atau dituntut dengan dasar perbuatan Trading In Influence. Hal tersebut dapat ditafsirkan melanggar asas legalitas sebagai prinsip fundamental dalam Hukum Pidana. Untuk itu penelitian ini bertujuan bertujuan untuk mengetahui tentang bagaimana pengaturan Trading in Influence dalam UNCAC dan penanganan terhadap delik jenis tersebut di Indonesia. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, dilakukan penelitian dengan metode yuridis normatif yang dilengkapi dengan wawancara bersama Komisi Pemberantasan Korupsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan Trading in Influence yang terdapat dalam Pasal 18 UNCAC tidak hanya berlaku bagi penyelenggara negara, dan melibatkan tiga pihak yang kemudian dijelaskan melalui Trilateral Realtionship. Sementara ini, praktek delik tersebut di Indonesia dihukum pidana dengan pasal suap, padahal delik tersebut dapat diterapkan dalam sistem peradilan Indonesia. |