Salah satu bentuk perlindungan hukum untuk korban kekerasan seksual adalah pelayanan kesehatan. Akan tetapi berlakunya Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018, khususnya pada Pasal 52 ayat (1) huruf r, yang menyatakan bahwa pelayanan kesehatan akibat korban tindak pidana penganiayaan dan kekerasan termasuk kekerasan seksual tidak dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan, menghambat korban kekerasan seksual untuk mendapatkan layanan kesehatan. Masalah penelitian yang dibahas ialah apakah pemberian layanan kesehatan berhak didapatkan oleh korban kekerasan seksual menurut undang-undang tindak pidana kekerasan seksual dan bagaimana proses perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual yang dikecualikan dari pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris yang diperkuat melalui wawancara dengan Anisa Rhosda selaku Staf Biro Pemenuhan Hak Saksi dan Korban di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Siti Aminah Tardi selaku Anggota Komisi Paripurna Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Utami selaku Staf Biro Hukum Kementerian Kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan layanan kesehatan berhak untuk didapatkan oleh korban, namun layanan kesehatan akan diberikan setelah adanya proses identifikasi oleh lembaga layanan untuk memastikan bahwa korban berhak untuk mendapatkan bantuan, serta bantuan apa yang dapat diberikan. Undang-undang telah melindungi hak korban kekerasan seksual untuk diberikan layanan kesehatan. UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah mengatur penanganan, perlindungan, dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual. LPSK sebagai lembaga layanan, menyediakan layanan perlindungan dan bantuan bagi korban kekerasan seksual. |