Perdagangan orang mengakibatkan korban mengalami penderitaan secara fisik, psikis, ekonomi, dan sosial. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengatur secara khusus hak restitusi korban dalam Pasal 48 dengan harapan para penegak hukum dapat mewujudkan pemberian hak restitusi korban perdagangan orang. Namun pada praktiknya, majelis hakim jarang mempertimbangkan permohonan restitusi yang diajukan oleh korban sehingga dalam amar putusan sedikit ada yang memuat pemberian hak restitusi korban. Dalam penelitian ini, penulis membahas apakah Putusan Hakim dalam Putusan Nomor 806/Pid.Sus/2019/PN.Jkt.Tim. sudah sesuai dengan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang bagi korban perdagangan orang yang mengalami kerugian. Berdasarkan hasil penelitian ini, Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 806/Pid.Sus/2019/PN.Jkt.Tim. belum mempertimbangkan adanya perlindungan hak-hak dasar korban yang telah hilang akibat perdagangan orang dalam bentuk restitusi. Majelis Hakim telah lalai terhadap permohonan restitusi yang diajukan korban perdagangan orang serta kurang optimal dalam memperjuangkan hak restitusi korban. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Data yang digunakan merupakan data sekunder mengenai restitusi dalam tindak pidana perdagangan orang yang dianalisis secara kualitatif. |