Dengan adanya kewenangan Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 61 ayat (1) UU MK, untuk menyelesaikan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) menimbulkan permasalahan baru dimana terdapat batasan bagi lembaga negara yang kewenangannya tidak diatur oleh UUD NRI Tahun 1945, bukan objectum litis, untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi. Melalui Skripsi ini, Penulis mengkaji dan menguraikan mekanisme atau model penyelesaian atas sengketa kewenangan lembaga negara yang dasar kewenangannya tidak diatur atau tidak memiliki alas pembentukan dari UUD NRI Tahun 1945. Bahwa dengan metode penelitian yuridis normatif, Penulis mengkaji berbagai literatur, seperti buku, jurnal, peraturan perundang-udangan, dan menganalisa putusan-putusan hakim khususnya Mahkamah Konstitusi yang mendukung penulisan Skripsi ini. Dalam penjelasannya Penulis menguraikan bahwa ukuran untuk menentukan apakah suatu lembaga negara dapat dijadikan objek dalam sengketa kewenangan bukanlah terhadap kedudukan dan struktural lembaga tersebut di dalam UUD NRI Tahun 1945, namun harus dilihat bahwa lembaga negara tersebut memiliki fungsi dalam UUD NRI Tahun 1945. Lebih lanjut, dalam menentukan lembaga yang kewenangannya tidak diatur oleh UUD NRI Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi harus memiliki penafsiran luas atas kewenangannya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 jo. UU MK Pasal 61 ayat (1). Mahkamah Konstitusi selaku the legitimate interpreter of the constitution berhak melakukan penemuan hukum (rechtvinding) atas putusannya terhadap kekosongan hukum tersebut, hal ini dapat dilakukan oleh Mahkamah dalam memutus persoalan tersebut dengan mengacu terhadap Putusannya terdahulu (yurisprudensi), yakni PMK No.138/PUU-VII/2009 dan PMK No.97/PUU-XI/2013. |