Pemberian hak restitusi sebagai bentuk ganti rugi terhadap anak korban tindak pidana pencabulan tengah menjadi persoalan menarik terkait perlindungan anak karena kekerasan seksual menjadi jenis kekerasan dengan jumlah yang tinggi setiap tahunnya berdasarkan data SIMFONI PPA. Dalam penelitian ini, penulis membuat 2 (dua) rumusan masalah, yaitu: apakah pemberian restitusi wajib diberikan kepada anak korban tindak pidana pencabulan dan bagaimana penerapan terhadap pemenuhan pemberian restitusi dalam 6 (enam) putusan. Penelitian ini mengambil 6 (enam) putusan pada tahun 2018-2021 tentang kasus tindak pidana pencabulan yang memposisikan anak sebagai korban sebagai data untuk membandingkan penerapan pemberian restitusi terhadap anak korban. Metode penelitian hukum yang digunakan adalah yuridis normatif yang bersifat kualitatif untuk mendapatkan hasil yang deskriptif. Berikut hasil penelitian yang telah penulis temukan: Pemberian restitusi terhadap anak korban tindak pidana pencabulan merupakan hak dari anak korban tindak pidana berdasarkan Pasal 7A Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, Pasal 71D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017. Permohonan restitusi dapat diajukan pada saat sebelum putusan atau setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Sehingga pemberian restitusi terhadap anak korban tidak bersifat fundamental. Selanjutnya, penulis menemukan adanya perbedaan pemberian restitusi dalam 6 (enam) putusan. Pada tiga putusan anak korban memperoleh restitusi dan tiga putusan lainnya tidak memberikan sanksi kepada pelaku untuk membayar restitusi karena restitusi baru diajukan setelah putusan berkekuatan hukum tetap atau permohonan restitusi sejak awal tidak diajukan oleh korban. Majelis Hakim memegang prinsip prosedural dan tidak melihat dari aspek perlindungan anak. |