Salah satu tugas perkembangan individu pada masa dewasa awal adalah memenuhi kebutuhan intimasi dengan membangun hubungan romantis. Hubungan romantis memiliki tantangan, termasuk putus cinta. Penelitian terdahulu mengatakan terdapat dampak dari putus cinta secara emosional maupun kepuasan hidup, yang dapat mempengaruhi kesejahteraan seseorang, sehingga dewasa awal perlu mengelola emosinya atau regulasi emosi. Tujuan penelitian penelitian ini untuk melihat hubungan antara dimensi regulasi emosi dan aspek subjective well-being (SWB). Penelitian kuantitatif ini menggunakan desain korelasional. 125 partisipan penelitian ini diperoleh dengan metode convenience sampling dengan karakteristik berusia 20-30 tahun, mengalami putus cinta dalam kurun waktu 6 bulan terakhir, dan belum menikah atau bertunangan. Data penelitian diperoleh dari pengisian kuesioner daring pada alat ukur Emotion Regulation Questionnaire, Scale of Positive and Negative Experiences, dan Satisfaction With Life Scale, yang kemudian dianalisis menggunakan Pearson’s coefficient correlation. Hasil korelasi menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara cognitive reappraisal dengan aspek afektif positif (r = 0.320, p < 0.05) dan negatif SWB (r = -0.283, p < 0.05), serta aspek kognitif SWB (r = 0.258, p < 0.05). Sedangkan, expressive suppression tidak berhubungan secara signifikan dengan aspek afektif positif (r = -0.024, p > 0.05) dan aspek kognitif SWB (r = 0.068, p > 0.05), hanya berhubungan signifikan dengan aspek afektif negatif (r = 0.178, p < 0.05). Cognitive reappraisal dianggap mampu mengurangi afek negatif, dan meningkatkan afek positif. Sementara, expressive suppression dapat menimbulkan adanya inauthenticy. Temuan penelitian ini berkaitan dengan faktor kultur Indonesia sebagai negara Asia dengan budaya kolektif yang mengupayakan keharmonisan. Penelitian selanjutnya dapat memasukkan faktor kepribadian dan pendukung suatu hubungan, seperti kualitas, lama berpacaran, dan pemutus hubungan. |